Jumat, 06 Januari 2017

MISTERI LETAK PADEPOKAN LEMAH TULIS/LEMAH CITRA TEMPAT TINGGAL PU BHARADAH


Nama Citro tidaklah asing ditelinga para pemerhati sejarah di Lamongan. Bukit atau Gunung Citro (Lemah Citra?) atau Gunung Lantung terletak di Desa Wonokoyo, Kecamatan Sambeng, Kabupaten Lamongan. Tempat yang masih menyimpan misteri ini berupa hamparan tanah datar di atas bukit yang sulit ditumbuhi tanaman atau pepohonan, karena adanya beberapa titik kubangan/sumber air (seperti air mendidih) dengan aroma belerang yang oleh warga sekitar dimanfaatkan sebagai 'titet' (bahan campuran untuk membuat kerupuk puli). Air tersebut adalah air yang keluar dari dalam tanah dengan kandungan garam dan mineral lain yang biasanya terdapat di sekitar sumber minyak bumi. Karena itu, tidak heran jika di Citro sejak masa kolonial sudah dijadikan titik lokasi explorasi minyak dan gas Bumi.

Padang Bukit Citro

Di Bukit Citro, kita juga bisa menikmati panorama alam yang lumayan indah untuk dipandang, karena wilayah Citro dikelilingi hutan berjenis Heterogen yang saat ini sangat jarang ditemukan di Kabupaten Lamongan. Beberapa bukit juga bisa dijumpai di sekitar Citro, seperti bukit Sodo (Kendalisodo?) dan bukit Ulo (Ular). Disamping itu, di Citro kita juga bisa menemukan batu kursi serta dua sumur air yang dinamakan sumur Banyu Legi. Selain nama 'Banyuasin', beberapa nama lain yang biasanya berkaitan dengan keberadaan sumber-sumber minyak dan gas bumi, yaitu nama 'Banyupahit' dan 'Banyulegi'. Konon katanya, air sumur tersebut dapat digunakan untuk menyembuhkan penyakit gatal-gatal (penyakit kulit). 

Bukit Ulo

Sampai saat ini, Citro masih diselimuti kabut misteri, terutama misteri tentang letak padepokan (pertapaan) Pu Bharadah yang menurut Serat Calon Arang lokasinya berada di sebuah makam tempat pembakaran mayat/jenazah. Pu Bharadah adalah seorang Bhiksuka (pendeta agama Buddha) yang terkenal akan kesaktiannya, dan tinggal di padepokan (pertapaan) di makam Lemah Tulis/Lemah Citra yang diduga masuk ke dalam wilayah Kahuripan. Menurut sejarahnya, Pu Bharadah adalah tokoh yang membagi kerajaan Airlangga (Medang Kahuripan) menjadi dua, yakni Jaṅgala dan Paṅjalu pada tahun 974 Çaka/1052 M. Berita tentang terbaginya kerajaan Airlangga terdapat pada prasasti Truneng/Turun Hyang B (verso) 976 Çaka/1054 M, prasasti Wurare 1211 Çaka/21 November 1289 M, Kitab Calon Arang, serta Kakawin Nãgarakṛtãgama. Kakawin Nãgarakṛtãgama pupuh 68 mengisahkan: "dengan menuangkan (air=4) kendi dari langit (Pu=7) Bharãda (membagi=9) kerajaan Airlangga" [Hinzler 1979 : 483]. Dalam Sejarah Nasional Indonesia II, Boechari berpendapat bahwa kedua kerajaan tersebut dibatasi oleh sungai. Apakah sungai itu adalah Kali Lamong?, Bengawan Solo?, atau Sungai Brantas?. Dan, dugaan saya adalah Kali Lamong. 

Batu Kursi

Kerajaan Jaṅgala diberikan kepada Mapañji Garasakan. Mapañji Garasakan adalah anak laki-laki raja Airlangga dengan permaisuri. Mapañji Garasakan juga merupakan adik kandung Çrĩ Sanggrãmawijaya Dharmmaprasãdottunggadewa, yang memilih menjadi petapa/biksuni dengan gelar Dewi Kili Suci seperti yang diberitakan dalam kitab Babad Tanah Jawi, dan juga bergelar Rara Sucian/Rara Kapucangan seperti yang terberitakan dalam Sêrat Kanda. Jadi, Mapañji Garasakan adalah raja pertama Kerajaan Jaṅgala dengan gelar abhiseka Çrĩ Mahãrãja Rakai Halu Mapañji Garasakan, dan berkedudukan di ibu kota lama Kahuripan. Wilayah kerajaan Jaṅgala diduga berada di Utara Kali Lamong.

Sumur Banyu Legi

Sedangkan kerajaan Paṅjalu diberikan kepada anaknya Çrĩ Samarawijaya Dharmmasuparṇacaraṇa Tguh Uttunggadewa, yang berjuluk Hãji Pãṅjalu, yang pernah mengeluarkan prasasti Mãtaji 973 Çaka/1051 M dengan gelar abhiseka Çri Mahãrãjyetêndrakara (Palade[wa]) Wuryya Wiryya Parakrama Bhakta. Pada prasasti tersebut di sisi depan (recto) baris ke-16 ada kata: "..hajyan paṅjalu kala.." ; "..hajyan paṅjalu ketika..". Hãji dan Hajyan artinya sama yaitu: Raja; Bangsawan; Pangeran; Yang Mulia. Çrĩ Samarawijaya merupakan anak dari Çrĩ Dharmmawaṅça (raja Medang Wwatan), yang diduga selamat dari peristiwa Mahapralaya (Kematian Besar). Jadi, Çrĩ Samarawijaya adalah adik dari permaisuri Airlangga (adik ipar Airlangga). Dan, anak dari Çrĩ Samarawijaya tadi, yang berjuluk Hãji Pãṅjalu (versi prasasti Garamãn 975 Çaka/1053 M) adalah raja pertama kerajaan Paṅjalu dan berkedudukan di ibu kota baru Dahaṇa, diduga terletak di sekitar Desa Pamotan (Selatan Kali Lamong), Kecamatan Sambeng - Lamongan (lokasi ditemukannya prasasti Pamotan/Pamwatan).

Kubangan Air Bergelembung

Nama Dahaṇa/Daha diduga lebih dulu dijadikan sebagai nama ibu kota kerajaan Medang (Airlangga) dan Paṅjalu, sebelum akhirnya menjadi nama ibu kota kerajaan Kaḍhiri. Jadi, meskipun Medang, Paṅjalu, dan Kaḍhiri mempunyai nama ibu kota yang sama, yaitu Dahaṇa/Daha, tidak berarti Medang dan Paṅjalu itu identik dengan Kaḍhiri. Dalam Old Javanese English Dictionary (OJED), kamus Jawa Kuna versi terjemahan bahasa Inggris, 'Dahaṇa' berasal dari kata dasar 'Daha' yang artinya: to rule; regulate; be the leader; be the foremost; to exceed; excel (menguasai/memerintah; mengatur; menjadi pemimpin; menjadi terkemuka; melebihi/melampaui; mengungguli), dan mendapat tambahan atau akhiran 'ṇa' (pakai ṇ titik bawah) yang berarti untuk 'me-sangat-kan'. Jadi, kemungkinan 'Dahaṇa'pura artinya adalah ibu kota/keraton/istana yang sangat (paling) terkemuka. Nama 'dahaṇa' terukir menggunakan aksara Kwadrat pada sisi depan (recto) bagian atas prasasti Pamwatan/Pamotan (lokasi desa Pamotan, Sambeng - Lamongan) yang dikeluarkan Raja Airlangga pada tahun 964 Çaka atau tepatnya 19 Desember 1042 M, dan merupakan prasasti akhir dari pemerintahan raja Airlangga. Hal ini tentu sesuai dengan berita dalam Serat Calon Arang, bahwa saat akhir pemerintahan Airlangga, pusat kerajaan sudah tidak lagi berada di Kahuripan, melainkan pindah ke Dahaṇapura. Namun, dalam uraian serat tersebut tidak disebutkan secara pasti dimanakah persisnya letak keraton Dahaṇapura itu berada.

Sumur Banyu Legi

Dalam berbagai peristiwa, terdapat hubungan antara Airlangga dengan Pu Bharadah, mulai dari masa pelarian Airlangga hingga masa Airlangga menjadi raja. Pada saat terjadinya peristiwa Mahapralaya, Airlangga waktu itu merupakan warga baru di Jawa yang belum mengenal dan menguasai medan. Dia datang dari Bali ke Jawa diusia 16 tahun untuk menikah dengan seorang Putri Jawa, yakni anak perempuan Çrĩ Dharmmawaṅça (raja Medang Wwatan). Tragisnya, tepat di saat resepsi pernikahannya pada tahun 939 Çaka/1017 Masehi, istana tempat berlangsungnya acara diserang oleh Hãji Wura Wari, hingga akhirnya terjadi peristiwa Mahapralaya di istana Wwatan. Dalam peristiwa itu, raja Medang Wwatan, Çrĩ Dharmmawaṅça ikut terbunuh.

Prasasti Pucangan/Calcutta Stone 963 Çaka/1041 M Bahasa Jawa Kuna (lokasi awal prasasti ada di gunung Pucangan, Ngusikan - Jombang, sebelum dipindah ke Calcutta India) memberitakan:
"...tan ilwa kawaça dening paṅawara mahãpralaya, maṅanti ri himbang ri wanagiri..."
"...tidak mungkin binasa oleh mahapralaya, dia (Airlangga) tinggal di himbang (Ngimbang - Lamongan) di hutan lereng gunung..."

Suasana di Bukit Ulo

Airlangga yang berhasil lolos dari serangan tersebut dan masih hidup, oleh Pu Narottama diungsikan ke Himbang (Ngimbang), pastinya ada alasan mengapa Pu Narottama mengarahkan pelariannya ke daerah tersebut. Diduga hal ini dikarenakan Pu Narottama ingin meminta perlindungan sekaligus memperkenalkan Airlangga kepada Pu Bharadah untuk pertama kalinya. Perlu untuk diketahui bahwa Pu Bharadah diduga merupakan adik dari Pu Kuturan, seorang Menteri Agama di kerajaan yang dipimpin oleh bapaknya Airlangga, yaitu raja Udayana, di Bedahulu - Bali. Oleh karena itu, bisa dipastikan Airlangga akan aman di bawah perlindungan Pu Bharadah.

Setelah dua tahun masa pelarian dan pertapaan, pada tahun 941 Çaka/1019 Masehi, Airlangga dinobatkan menjadi seorang Raja oleh para pendeta dari tiga aliran, yaitu Çiwa, Buddha, dan Mahãbrãhmaṇa, dengan gelar abhiseka Çri Mahãrãja Rakai Halu Çri Lokeçwara Dharmmawaṅça Airlaṅga Anãntawikramottuṅgadewa. Kemudian Airlangga berkeraton di Wwatan Mas, diduga berada di sekitar Dusun Wotan (perubahan toponim dari Wwatan ke Wotan), Desa SlaharWotan, Kecamatan Ngimbang - Lamongan. Dugaan itu diperkuat dengan temuan Prasasti Wotan di dusun tersebut. Sayangnya kondisi prasasti sudah aus/rusak, tapi untungnya jejak aksaranya masih terlihat, dan serupa dengan bentuk aksara pada prasasti era Airlangga (Suhadi & Kartakusuma 1996 : 42).

Perlu untuk diketahui bahwa ada tiga Prasasti yang menyebut Keraton Airlangga di Wwatan Mas, yaitu: Prasasti Munggut/Sumber Gurit 944 Çaka/1022 M (lokasi Dusun Sumber Gurit, Desa Katemas, Kecamatan Kudu - Jombang, dekat wilayah Lamongan Selatan); Prasasti Cane 943 Çaka/1021 M (lokasi Dusun Cane, Desa Candisari, Kecamatan Sambeng - Lamongan); dan Prasasti Terep 954 Çaka/1032 M. Prasasti Cane 943 Çaka/1021 M memberitakan:
"...Çrĩ Mahãrãja ri maniratna singgasana makadatwan ri wwatan mas..."
"...Sri Maharaja di singgasana permata berkedaton di Wwatan Mas..."

Pemandangan di Sekitar Citro 

Pada tahun 954 Çaka/1032 Masehi, ketika berkeraton di Wwatan Mas, kerajaan Airlangga diserang oleh musuh, yakni oleh raja raksasa wanita (raja wanita yang memiliki kekuasaan besar). Dari serangan itu, Airlangga kalah dan mengungsi ke Patakan (Desa Pata'an, Kecamatan Sambeng - Lamongan). Desa Pata'an merupakan tempat asal dari prasasti Patakan, dan di desa tersebut juga ditemukan bangunan candi (candi Patakan). Ada dua prasasti Airlangga yang memberitakan tentang penghargaan (appreciation) kepada penduduk Desa Patakan atas jasanya kepada raja Airlangga, dan kedua prasasti tersebut lokasinya dekat dengan Desa Pata'an, Kecamatan Sambeng - Lamongan, yaitu Prasasti Pasarlegi 965 Çaka/1043 M (Sambeng), dan Prasasti Sendangrejo 965 Çaka/1043 M (Ngimbang). Diduga, kedua prasasti tersebut sebenarnya merupakan satu prasasti yang sama. Prasasti Terep 954 Çaka/21 Oktober 1032 M memberitakan:
"...ri kala Çrĩ Mahãrãja kalataya sangke wwatan mas mara i patakan..."
"...ketika Sri Maharaja kalah dari Wwatan Mas menuju Patakan..."

 Misteri Bukit Citro

Karena sudah mengenal baik Pu Bharadah, Airlangga dalam pelariannya yang kedua mendatanginya lagi untuk meminta perlindungan. Ditambah lagi, ternyata raja raksasa wanita yang dihadapi Airlangga ini diduga merupakan mantan kakak iparnya Pu Bharadah sendiri (mantan istrinya Pu Kuturan), dia adalah Janda dari Desa Girah alias Pãduka Çrĩ Mahãdewĩ Siniwi riŋ Khaḍiri (Pãduka Çrĩ Mahãdewĩ yang berkedudukan di Khaḍiri) yang pernah mengeluarkan Prasasti Carama/Maŋuri pada tahun 937 Çaka/1015 M. Akhirnya, di tahun yang sama (tahun pelarian Airlangga ke Patakan), yaitu pada tahun 1032 Masehi, Airlangga yang dibantu Pu Bharadah berhasil mengalahkan raja Strĩrãkṣasĩ tadi.

Batu Kursi Cocok Untuk dijadikan Tempat Merenung

Berdasarkan uraian berbagai peristiwa diatas, sehingga memunculkan dugaan bahwa dahulu nama Sambeng masih belum ada, dan masih menjadi satu wilayah dengan Himbang/Ngimbang (wilayah Sambeng memang berbatasan langsung dengan Ngimbang). Dan, wilayah tersebut diduga merupakan tempat aktivitas Pu Bharadah. Dugaan itu didukung dengan ditemukannya candi Patakan atau bangunan Sang Hyang Patahunan (versi prasasti Patakan) di Desa Pata'an, Kecamatan Sambeng - Lamongan, yang mana lokasi tersebut patut dicurigai dulunya sebagi Mandala atau tempat perguruannya Pu Bharadah. Dalam Kamus Jawa Kuno Indonesia, P.J. Zoetmulder dan S.O. Robson, 1995, Hyang atau Rahyang dengan Karuhun berarti leluhur (orang tua; nenek moyang; pepunden) yang dipuja sebagai Dewa atau orang suci. Dan, Sang Hyang merupakan nama depan untuk sebuah penghormatan (honorafik prefik) kepada seseorang nenek moyang (leluhur) atau orang suci. Jadi, Sang Hyang Patahunan patut diduga merupakan gelar anumerta untuk seorang leluhur (orang tua atau nenek moyang), atau orang suci (agamawan atau pendeta), dugaan saya adalah Pu Bharadah, yang bersama murid-muridnya serta pengikut-pengikutnya (anak dan keturunannya), yakni Buyut Banil dan warga Patakan, telah berjasa dalam melindungi serta menjamin keselamatan Airlangga. Karena itu, sebagai penghormatan untuk mengenang jasa-jasanya, maka dibangunlah sebuah bangunan suci untuk Sang Hyang Patahunan, yaitu sebuah bangunan candi (candi Patakan).

Candi Patakan/Sang Hyang Patahunan 

Meskipun padepokannya (pertapaannya) di Citro, tapi bisa dibilang jarak antara Citro dengan Pata'an tidaklah jauh. Dan, saat ini kedua tempat tersebut secara administrasi berada pada satu wilayah kecamatan yang sama, yaitu Kecamatan Sambeng - Lamongan. Menurut Serat Calon Arang, pertapaan Lemah Tulis/Lemah Citra lokasinya berada di sebuah makam tempat pembakaran mayat/jenazah. Hal ini tentu sesuai dengan kondisi Citro yang kaya akan sumber minyak dan gas Bumi, diduga bahan bakar tersebutlah yang dulunya digunakan untuk membakar mayat/jenazah. Kemudian, hutan heterogen di wilayah Citro, dan beberapa bukit seperti bukit Sodo (Kendalisodo?) dan bukit Ulo (Ular) juga patut dicurigai yang di maksud Wanagiri (hutan lereng gunung) pada Prasasti Pucangan. Lokasi Citro sendiri sebenarnya juga tidak jauh dari gunung Pucangan, mengingat prasasti Airlangga banyak ditemukan di wilayah kaki gunung Pucangan, baik yang masuk wilayah Jombang maupun Lamongan.

Sang Hyang Patahunan

Kesimpulan mengenai letak padepokan (pertapaan) tempat tinggal Pu Bharadah di bukit Citro, Wonokoyo, Sambeng, Lamongan hanyalah sebatas dugaan saja. Jadi, hanya kecurigaan, "jangan-jangan?". Mohon maaf! dan Mohon dikoreksi! kalau ada yang salah. Maklum saja, disamping baru belajar sejarah, disini penulis juga hanyalah manusia biasa yang tidak sempurna dan kadang salah. Sebagai informasi tambahan, jika pada tahun 1017 Masehi, pada saat terjadinya peristiwa Mahapralaya Airlangga masih berusia 16 tahun, maka berarti pada tahun 1001 Masehi adalah tahun lahirnya Airlangga (1017 - 16 = 1001).

"LA (Laskar Airlangga) Mania". 

21 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
  2. Luar biasa Mas Denny
    Terimakasih banyak atas sharing pengalaman untuk meruntut sejarah leluhur kita yang Agung. Semoga kita semua diberkati kesejahteraan dan kedamaian di hati dan di dunia.

    BalasHapus
  3. Alamatnya dimana ini? Kapan kesana lagi? Saya pengen tahu tentang cagar budaya lamongan

    BalasHapus
  4. Gak jauh dari wadok gondang ,rumah mbahbuyutku,orang sana kalau menyebut tempatnya citro,kawah bau belerang tp cuma letupan2

    BalasHapus
  5. kebeneran...leleluhur....sy...dari...sana....mas....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pasti punya banyak cerita mengenai gunung Lantung/Citro..

      Hapus
  6. Terimakasih atas ilmunya suhu, semiga bermanfaat untuk semua khusunya warga lamongan yg seharusnya tau dan bangga terhadap leluhur mereka.

    BalasHapus
  7. Mantap mas Denny. Lanjutkan ya. good good good....

    BalasHapus
  8. Kalau bawa mobil bisa g mas? Trus kalaupun jalan kira2 brpa km stlah mobil tidak bisa masuk?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bisa, nanti diparkir di desa Wonokoyo - Sambeng. Kalau udah nyampek desa Wonokoyo, nanti nanyak aja gunung Citro atau Lantung. Kalau jalan kaki ke lokasi, menurut saya gak seberapa jauh.

      Hapus
  9. Wow... napak tilas lemah tulis/lemah citra tempat asal Mpu Beradah/Arya Beradah penasehat Raja Airlangga Maharaja Kahuripan (Panjalu-Jenggala)... 👍👍🇮🇩🙏

    BalasHapus
  10. Lemah tulis/Lemah citra di Lamongan, masuk akal bila dahulu ditempuh naik kuda dari Kadiri/Dahanapura istana Maharaja Airlangga bisa mencampai 1 hari perjalanannya dan harus menginap bila mau balik ke Kadiri...

    BalasHapus

FOLKLOR CANE BUKTI AIRLANGGA DAN GARUḌAMUKHA BERJAYA DI BUMI JANGGALA

Cerita tutur merupakan salah satu bentuk kearifan lokal. Tradisi menuturkan peristiwa sejarah sudah lama diperkenalkan oleh leluhur kita seb...