Kamis, 27 Desember 2018

ÇRĨ MAHÃRÃJA MAPAÑJI ALAÑJUNG AHYÊS RAJA KEDUA KERAJAAN JAṄGALA

Çrĩ Mahãrãja Mapañji Alañjung Ahyês adalah raja kedua Kerajaan Jaṅgala. Raja yang mengeluarkan prasasti Bañjaran pada tahun 975 Çaka/1053 M ini, diduga kuat masih ada hubungan saudara dengan Mapañji Garasakan (sama-sama adik kandung Çri Sanggrãmawijaya). Karena keduanya mempunyai gelar yang sama, yakni Mapañji.

Prasasti yang didalamnya terdapat kalimat ʺgaruḍamukhaʺ tersebut memberitakan tentang raja yang semula tinggal di "pertapaan" di hutan Marsma Lor yang didatangi raja vassal (bawahan) Bañjaran bersama rakyat Jaṅgala untuk meminta agar dia mau merebut dan menduduki takhta kerajaan Jaṅgala (Bambang Soemadio, 1984 : 261). Jadi, patut diduga Mapañji Alañjung Ahyês adalah putra Airlangga dengan permaisuri yang menjadi "petapa" di dharma Gandhakuṭi di Kambang Çrĩ dengan segala hak-haknya sebagai bangsawan (anak raja) yang masih melekat, seperti yang terberitakan dalam prasasti Gandhakuṭi 964 Çaka/1042 M. 

Prasasti Gilang - Dusun Gilang, Desa Kalen, Kecamatan Kedungpring, Kabupaten Lamongan

Langkah Mapañji Alañjung Ahyês untuk mengkudeta kakaknya, Mapañji Garasakan, memang dilakukan pada waktu yang tepat. Proses pengambil alihan kekuasaan tersebut terjadi tidak lama setelah adanya dua kali peristiwa pertempuran yang melibatkan pasukan Mapañji Garasakan, yang pertama perang melawan Hãji Linggajaya, dan yang kedua perang melawan Hãji Paṅjalu. Pada tahun 974 Çaka/1052 M bulan Badrawada (22 Agustus 1052 M), Mapañji Garasakan mengeluarkan prasasti Malênga yang memberitakan tentang keberhasilannya menumpas pemberontakan raja vassal (bawahan) Hãji Linggajaya yang tidak setuju dengan kebijakan Airlangga untuk membagi dua kerajaannya.

Selang setahun kemudian, pada tahun 975 Çaka/1053 M bulan Çrawana (Juli-Agustus), Mapañji Garasakan mengeluarkan prasasti Garamãn (asal Dusun Graman, Desa Sambangrejo, Modo - Lamongan) yang memberitakan tentang perangnya dengan Hãji Paṅjalu (anak Çrĩ Samarawijaya). Dan, tidak lama setelah Mapañji Garasakan mengeluarkan prasasti Malênga (22 Agustus 1052 M) dan prasasti Garamãn 975 Çaka/1053 M bulan Çrawana (Juli-Agustus), kemudian muncul prasasti Bañjaran pada tahun 975 Çaka/1053 M bulan Asuji (September-Oktober) yang dikeluarkan oleh penguasa baru bhūmi Jaṅgala, yakni Çrĩ Mahãrãja Mapañji Alañjung Ahyês.

Di saat keluarnya prasasti Bañjaran itulah, takhta kerajaan Jaṅgala telah berpindah tangan, dari Mapañji Garasakan ke Mapañji Alañjung Ahyês. Keberhasilan pengambil alihan kekuasaan itu diduga terjadi karena faktor ketidaksiapan pasukan Garasakan untuk menghadapi pertempuran kembali melawan pasukan Alañjung Ahyês. Mengingat, tidak lama sebelumnya pasukan Garasakan baru saja selesai melakukan dua kali peperangan, yakni melawan pasukan Hãji Linggajaya dan melawan pasukan Hãji Paṅjalu, jadi otomatis kekuatannya menjadi berkurang.

Akan tetapi, status Mapañji Alañjung Ahyês sebagai penguasa di bhūmi Jaṅgala tidak berlangsung lama. Karena, selang beberapa bulan kemudian Mapañji Garasakan kembali mengeluarkan prasasti Truneng/Turun Hyang B (verso) pada tahun 976 Çaka/1054 Masehi. Sebenarnya angka tahun prasasti Truneng/Turun Hyang B (verso) pada bagian ratusan dan puluhan sudah aus, jadi hanya terbaca angka satuannya saja yaitu 6. Dan, karena prasasti ini eranya Airlangga sampai dengan Garasakan, jadi angka ratusannya pasti 9. Kemudian, karena prasasti Truneng/Turun Hyang B (verso) memberitakan tentang pertempuran antara Mapañji Garasakan (Jaṅgala) dengan Hãji Paṅjalu, dari sini bisa disimpulkan bahwa angka puluhannya pasti 7, merujuk pada prasasti Garamãn 975 Çaka. Jadi, bisa ditarik kesimpulan bahwa angka tahun prasasti Truneng/Turun Hyang B (verso) adalah 976 Çaka/1054 Masehi.

Dengan dikeluarkannya prasasti Truneng/Turun Hyang B (verso) inilah menandakan bahwa Mapañji Garasakan telah berhasil merebut kembali takhta kerajaan Jaṅgala yang sebelumnya sempat diduduki oleh Mapañji Alañjung Ahyês. Meskipun Mapañji Alañjung Ahyês hanya beberapa bulan saja menduduki takhta kerajaan Jaṅgala, bagaimanapun juga dia tetap layak disebut sebagai raja kedua Jaṅgala. Dan, jika saja seluruh prasasti batu yang tersebar di kabupaten Lamongan kondisinya tidak rusak/aus dan bisa dibaca, tentunya riwayat perjalanan kerajaan Jaṅgala akan bisa dibaca dengan lebih jelas dan lebih lengkap lagi.

Prasasti Lebak - Dusun Lebak, Desa Mojorejo, Kecamatan Modo, Kabupaten Lamongan

Sebagai informasi tambahan, di dalam prasasti Garamãn, Mapañji Garasakan menyebut Hãji Paṅjalu sebagai kakaknya (kakak sepupu), seperti yang terberitakan pada lempeng ke-2 baris ke-5 recto: "..mapalaha lan kaka nirã hãji paṅjalu.." ; "..menyerang kakak beliau (yaitu) Hãji paṅjalu..". Perang antara Mapañji Garasakan dengan (kakak sepupunya) Hãji Paṅjalu juga terberitakan pada prasasti Truneng/Turun Hyang B (verso) yang dikeluarkan Mapañji Garasakan pada tahun 976 Çaka/1054 M. Dan, perang saudara tersebut akhirnya dimenangkan oleh Mapañji Garasakan (Jaṅgala).

Anak Çrĩ Samarawijaya yang berjuluk Hãji Paṅjalu tadi merupakan raja pertama Kerajaan Paṅjalu yang mengeluarkan prasasti Mãtaji di tahun 973 Çaka/1051 M. Pada prasasti tersebut di sisi recto baris ke-16 ada kalimat: "..hajyan paṅjalu kala.." ; "..hajyan paṅjalu ketika..". Hãji dan Hajyan artinya sama yaitu Raja; Bangsawan; Pangeran; Yang Mulia.

JAṄGALA JAYATI 

Sabtu, 15 Desember 2018

MISTERI LETAK WALAMBANGAN PADA PRASASTI JAYANEGARA I

Prasasti Walambangan/Prasasti Jayanegara I terbuat dari lempeng tembaga (Tamra Prasasti), dan ditemukan di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Prasasti yang baru ditemukan satu lempeng ini menggunakan aksara Kawi dan bahasa Jawa Kuna yang tertulis pada kedua sisinya. Pada sisi depan (recto) terdapat 8 baris tulisan dan pada sisi belakang (verso) terdapat 7 baris tulisan.

Bagian yang memuat angka tahun dan nama raja tidak ada, tetapi menurut dugaan Poerbatjaraka, Prasasti Walambangan/Prasasti Jayanegara I berasal dari masa Jayanegara (Majapahit) yang dikeluarkan setelah menumpas pemberontakan Nambi yang terjadi di Balambangan. Dugaan itu mengacu pada isi prasasti di bagian sisi depan (recto) baris ke-2: "..anapwa ikanang kārāmān i walambangan.." (Poerbatjaraka, 1936 : 39). Mengacu pada tulisan Poerbatjaraka, Yamin menuliskan angka tahun dikeluarkannya prasasti ini yaitu ± 1316 M (Yamin, 1962 : 37, 40).

Karena prasasti Walambangan hanya menyebut Çrī Mahārāja tanpa menyebutkan nama dan gelarnya, juga tidak menyebut nama Nambi (pemberontakan Nambi), sehingga memunculkan dugaan-dugaan lainnya tentang siapa sebenarnya raja yang mengeluarkan?, dan juga lokasi daerah Walambangan yang diberikan anugerah status Sima?. Jika mengacu pada dugaan Poerbatjaraka (pemberontakan Nambi), tentunya prasasti Walambangan tidak berasal dari Lamongan, jadi hanya ditemukan di Lamongan. 

Yamin, 1962 : 37, 40

Menariknya, prasasti Walambangan menyebut adanya pemujaan terhadap 'hyang iwak' (ikan yang dipuja atau ikan yang suci), seperti yang termuat pada sisi depan (recto) baris ke-5:
"..pamūjā hyang iwak, sakinabhaktyanya ri lagi phalanyān susṭubhakti ri Çrī Mahārāja.."
"..pemujaan [kepada] hyang iwak, pemujaan yang tiada henti-hentinya sebagai tanda setia kepada Çrī Mahārāja.."

Pada masa Airlangga juga terdapat prasasti yang menyebut adanya pemujaan terhadap 'rahyang iwak', yakni prasasti Kusambyan/Grogol, lokasi di Dusun Grogol, Desa Katemas, Kecamatan Kudu, Kabupaten Jombang, dekat wilayah Lamongan Selatan. Prasasti ini memberitakan bahwa Çrī Mahārāja (Airlangga) menganugerahkan daerah perdikan di Desa Kusambyan kepada penduduk aslinya (wargga mūla) karena mereka harus melakukan pemujaan untuk 'rahyang iwak'. 

Prasasti Kusambyan (in situ) letaknya dekat dengan Sungai Brantas, pertanyaannya adalah apakah pemujaan terhadap 'rahyang iwak' ada kaitannya dengan letak prasasti yang dekat dengan Sungai Brantas?. Begitu juga dengan prasasti Walambangan yang ditemukan di Lamongan, pertanyaannya juga sama apakah pemujaan terhadap 'hyang iwak' juga ada korelasinya dengan lokasi prasasti yang dekat dengan Bengawan Solo?.

Bengawan Solo - Lamongan

Adanya pemujaan kepada 'hyang iwak' oleh masyarakat Lamongan Kuno, diduga dikarenakan masyarakat Lamongan zaman dulu yang memuja 'hyang iwak' hidupnya bergantung pada sungai. Seperti diketahui bahwa, prasasti Walambangan ditemukan di Lamongan, yang mana Kabupaten ini wilayahnya dilalui oleh dua sungai besar, yakni Sungai Lamong dan Bengawan Solo beserta anak sungainya (Bengawan Njero).

Tanda tanya besar (?) lainnya adalah mungkinkah ada perubahan toponim dari Walambangan (Lambangan) menjadi Lamongan?. Wallahu a’lam bis-shawab (hanya Allah yang lebih mengetahui kebenaran yang sesungguhnya).

Senin, 07 Mei 2018

CANDI SELOKELIR

Candi Selokelir terletak di lereng sisi Barat bukit Sarahklopo, salah satu dari delapan puncak perwara (pengawal) yang mengelilingi puncak utama (puncak Pawitra), di kawasan gunung Pawitra (Penanggungan). Untuk mencapai kelokasi candi, direkomendasikan melalui Desa Kedungudi, Trawas - Mojokerto. Pendakian via Kedungudi menuju candi Selokelir tergolong singkat, karena hanya memakan waktu kurang lebih satu jam perjalanan. 

Candi Selokelir 

Candi yang berbentuk punden berundak ini, oleh masyarakat setempat diberi nama Selokelir yang berasal dari bahasa Jawa: 'Selo' yang bermakna Batu; dan 'Kelir' yang mempunyai arti tirai kain putih untuk menangkap bayangan wayang kulit. Menurut warga sekitar, di candi Selokelir setiap hari Kamis malam Jumat selalu terdengar bunyi suara gamelan wayang, itulah sebabnya mengapa candi ini diberi nama Selokelir.

Panorama Alam di Candi Selokelir 

Aneka ragam relief juga menghiasi dinding candi, salah satunya adalah relief sosok ber-tekes. Tokoh tersebut biasanya terdapat pada relief cerita Panji, ciri-cirinya dapat dilihat dari bentuk penutup kepala tokoh-tokohnya yang khas --disebut tekes-- dan jalinan rambut yang disebut supit urang. Menariknya, di candi ini juga pernah ditemukan arca tokoh ber-tekes. Sayangnya, arca tersebut oleh Van Rommont diboyong, dan dibawa ke ITB. Hingga saat ini, arca dari gunung Penanggungan tersebut masih tersimpan di perpustakaan ITB.

Relief Sosok Ber-Tekes di Dinding Candi Selokelir 

Arca Tokoh Ber-Tekes Asal Candi Selokelir, Sekarang Disimpan di Perpustakaan ITB

Itulah sedikit gambaran mengenai candi Selokelir, sebuah candi tempat peribadatan kaum Rsi yang dibangun megah dilereng gunung suci (tempat para Dewa) hasil pemindahan dari puncak Sang Hyang Mahameru yang berasal dari Jambudwipa (India).

"I believe there is no one possessed of more information respecting Java than myself..."
"Saya yakin tidak ada orang yang memiliki informasi mengenai Jawa sebanyak yang saya miliki..." (Sir Thomas Stamford Raffles). 

Rabu, 25 April 2018

KAMPUNG KUNO BLAWI, KAMPUNG ASAL PRASASTI BALAWI 1227 ÇAKA/1305 M

Prasasti Balawi 1227 Çaka/1305 M dikeluarkan oleh raja Majapahit yang pertama, yakni Çrĩ Kṛtarãjasa Jayawarddhana atau Raden Wijaya. Prasasti yang dibubuhi tanda senjata berupa trisula (tinaṇḍa pãlaga triçũlamukha), senjata tombak berujung mata tiga, ini berisi tentang pengukuhan desa Balawi sebagai daerah perdikan atau sima swatantra atas permohonan sang Wirapati. Keswatantraan Balawi sebenarnya telah diberikan sejak masa pemerintahan Çri Harsawijaya (Raja di Bhumi Janggala), namun belum dikukuhkan dengan prasasti. Oleh karena itu, Wirapati memohon kepada Maharaja Narāryya Sanggramawijaya (Raden Wijaya) untuk mengukuhkan keswatantraan tanah Balawi dalam bentuk prasasti (lempeng IV recto baris ke 1-2 dan lempeng VI recto baris ke 5).

Gapura Dusun Blawi, Desa Blawirejo, Kecamatan Kedungpring, Kabupaten Lamongan

Lempeng IV recto baris ke 1-2 memberitakan:
1. "..dyakna kaswatantrā nira śri harsawijaya kirtya śri maharājā riŋ loka. Maŋkana rasani hatur saŋ wirapati ri śri maharājā. Pinirĕsĕpakĕn de rakryān apatih. An sa.." , "..tentang keswatantraan-nya Çri Harsawijaya. Mulialah Çri Maharaja di dunia. Demikianlah isi permohonan Sang Wirapati kepada Çri Maharaja (narāryya Sangramawijaya). diberitahukan kepada rakryyan apatih. Dengan.. "

2. "..ksat darsanā riŋ loka kirti paduka śri maharājāngasthityakĕn sima tānpa praśasti.." , "..demikian terlihatlah di dunia kemuliaan paduka Çri Maharaja yang meneguhkan tanah sima tanpa prasasti.."

Lempeng VI recto baris ke 5 memberitakan:
5. "..maka rasāmratisubaddhākne sakramanikiŋ kawnańakna kanaŋ sima riŋ balawi. suknirāji nini pwa śri hārsawijaya.." , "..isinnya yaitu pengukuhan hak-hak terhadap tanah sima di Balawi. sejak pemerintahan Çri Harsawijaya.."

Prasasti Balawi di Museum Nasional Jakarta

Dyah Lembu Tal atau Çri Harsawijaya adalah ayah dari Raden Wijaya, seperti yang terberitakan dalam Kakawin Nãgarakṛtãgama atau Deçawarṇana pupuh 47 bait 1, "..dyah lmbu tal sira maputra ri saɳ narendra.." , "..Dyah Lembu Tal itulah bapak Baginda Nata..". Nama Çri Harsawijaya kemudian menjadi nama Dyah Wijaya atau Raden Wijaya, jadi Raden Wijaya punya nama yang 'Nunggak Semi' dengan ayahnya.

Prasasti Mula-Malurung (1177 Çaka/1255 M) lempeng VI verso baris ke 6 memberitakan bahwa Çri Harsawijaya, kapernah pahulunan atau keponakan dari Narāryya Sminiŋrāt, ditempatkan di singgasana ratna di bhūmi Janggala..". Sedangkan, menurut kakawin Nãgarakṛtãgama Pupuh 46 bait 2, Dyah Lembu Tal adalah keponakan dari Narāryya Sminiŋrāt. Jadi, dapat disimpulkan bahwa Çri Harsawijaya dan Dyah Lembu Tal sebenarnya merupakan orang yang sama. Posisi Çri Harsawijaya sebagai Raja di Bhūmi Janggala tentunya sesuai dengan letak Desa Balawi (Blawirejo, Kedungpring, Lamongan), yang mana wilayah tersebut (wilayah Lamongan) merupakan wilayah Bhūmi Janggala.

Tanda Senjata Berupa Trisula, Senjata Tombak Berujung Mata Tiga

Prasasti yang terbuat dari lempeng perunggu (tamra prasasti) ini, juga menyebutkan bahwa Raden Wijaya merupakan suami dari putri-putri Çrĩ Kṛtanagarā (Bhatara Çiwabuddha) atau menantu dari raja Kertanagara, raja terakhir kerajaan Singhasari (Çrĩ krĕttanãgara rãjãdhinatha suputrika).

Prasasti yang beraksara dan berbahasa Jawa Kuna ini, diduga kuat berasal dari Dusun Blawi, Desa Blawirejo, Kecamatan Kedungpring, Kabupaten Lamongan. Dugaan itu muncul dari adanya kesamaan/kemiripan toponim, baik dari desa yang mendapatkan anugrah sima, maupun dari desa-desa/wanua-wanua yang berbatasan dengan tanah perdikan Balawi (toponim dari wanua tepi siring), jika dilihat dari posisi desa Blawirejo saat ini.

Demikianlah nama-nama desa/wanua perbatasan perdikan Balawi yang tersebut di prasasti Balawi [sumber: Muhammad Yamin, Tatanegara Majapahit - Parwa I, hlm. 258] :

[Alih Aksara]
"..kunêŋ parimananikaŋ lmaḥ sima riŋ balawi . riŋ pũrwwa hasiḍaktan lawan malaṅe . riṅ agneya asiḍaktan lawan magaraŋ . riŋ dakṣiṇa asiḍaktan lawan mabuwur . riŋ nairiti asiḍaktan lãwan manaṇḍe . riŋ paçeima asiḍaktan lãwan malaṅi . riŋ bayabya asiḍaktan lãwan mule . riŋ uttara asiḍaktan lawan watuputiḥ . riŋ ṅaiçanya asiḍaktan lã[wan] watuputiḥ samaṅkana parimananikaŋ lmaḥ sima riŋ balawi.."

[Alih Bahasa] 
"..maka batas tanah perdikan di balawi . di timur bersebelahan dengan malange (mlangean/desa sidomlangean) . di tenggara bersebelahan dengan magarang (dusun megarang, desa nglebur) . di selatan bersebelahan dengan mabuwur (?) . di barat daya bersebelahan dengan manande (dusun mekande, desa mekanderejo) . di barat bersebelahan dengan malangi (?) . di barat laut bersebelahan dengan mule (dusun malo, desa sukomalo) . di utara bersebelahan dengan watuputih (gunung kendeng/kapur) . di timur laut bersebelahan de[ngan] watu putih (gunung kendeng/kapur) demikianlah batas tanah perdikan di balawi.."

Gapura Dusun Megarang (Magarang), Perbatasan Sebelah Tenggara Dengan Desa Blawi(Rejo) 

Meskipun sebagian besar desa/wanua yang tersebut di prasasti sudah mengalami perubahan nama, seperti dari malange menjadi mlangean/sidomlangean, manande menjadi mekande/mekanderejo, dan mule menjadi malo/sukomalo, akan tetapi secara toponimi perubahan ini masih bisa diterima. Sedangkan untuk toponim magarang dan balawi tidak mengalami banyak perubahan, hanya saja sekarang kedua wanua/desa tersebut berubah menjadi dusun (Dusun Megarang - Desa Nglebur, dan Dusun Blawi - Desa Blawirejo).

Gapura Dusun Malo (Mule), Perbatasan Sebelah Barat Laut Dengan Desa Blawi(Rejo) 

Dan, untuk watu putih sendiri patut diduga merujuk kepada gunung kendeng/kapur (gunung pegat). Di Lamongan pada masa Hindia Belanda (tahun 1824-1870, 1891-1906, 1911, dan 1913), Gunung Kendeng pernah menjadi nama dari sebuah wilayah administrasi kepemerintahan, yakni Kawedanan [Sumber: Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Lamongan, Lamongan Memayu Raharjaning Praja, hlm. 38-42]. 

Berdiskusi Bersama Perangkat Desa Blawirejo di Kantor Desa Blawirejo Untuk Menggali Informasi

Monggo dibahas secara lebih mendalam di acara Jagong Budaya dalam rangkaian kegiatan TOURING SEJARAH LAMONGAN KE-V "Jelajah Situs Sejarah Lamongan (Masa Klasik - Kolonial)" tanggal 12 Mei 2018, DALAM RANGKA MEMPERINGATI HARI JADI LAMONGAN KE-449. Dan, untuk informasi tambahan, dalam pelaksanaan kegiatan Touring Sejarah Lamongan Ke-V, tanah perdikan Balawi (desa Blawirejo) juga akan dikunjungi sekaligus sebagai tempat untuk ishoma. 

Rabu, 14 Maret 2018

JAWI TEMPLE (JAJAWA/JAWAJAWA)

Jawi Temple is situated on the foot of Welirang Mountain, exactly in Candi Wates Village, Prigen Underdistrict, Pasuruan Regency. Verse 56 of Nãgarakṛtãgama mentions that Jawi Temple was built by the last king of Singhasari Kingdom, Çrĩ Kertanegara (Bhatara Çiwabuddha), as a worship shrine for Shiva-Buddhist followers, a religious sect that combines the teachings of Shiva (Hindu) and Buddhist. While being a worship shrine, Jawi Temple is also a place where Kertanegara ashes are kept.

Jawi Temple 

This temple was probably built in two period of construction. Verse 57 of Nãgarakṛtãgama mentions that in the Javanese year of 1253 (Çaka)/1331 AD (chronogram: Fire Shooting Day), Jawi Temple was struck by lighting. In the incident, the statue of Maha Aksobhya disappeared. The disappearance of the statue had made King of Majapahit Kingdom, Hayam Wuruk (Çrĩ Rãjasanagara), sad when the king visited the temple. A year after the incident, Jawi Temple was rebuilt.

Jajawa Temple 

KAKAWIN NÃGARAKṚTÃGAMA/DEÇAWARṆANA 

PUPUH 55
(Bait 3) "rahina muwah ri tambak i rabut wayuha ri balanak linakwan alaris, anuju ri pandakan ri bhanarāngin amêgil i datên nire padamayan, maluy anidul manulwan umare jajawa ri suku san hyan adri kumukus, marêk i bhatāra dharmma saha puspa pada padaha garjjita wwan umulat."

Terjemahan:
"Siang harinya kembali melakukan perjalanan lewat Tambak, rabut Wayuha, dan Balanak. Kemudian menuju Pandakan, Bhanarangin, beliau (Raja Hayam Wuruk) hendak menginap dan mendatangi Padamayan, mengikuti pergi ke Selatan, kemudian ke arah Barat mendatangi JAJAWA (Candi Jawi), di kaki gunung Kumukus (Welirang), mendatangi candi Sang Batara, melakukan upacara tabur bunga dengan diiringi gendang kecil, menggembirakan orang yang melihat."

Jawajawa Temple

PUPUH 56
(Bait 1) "Ndan tinkah nikanan sudharmma rinusāna rakwa karênö, kīrtti Çri Krtanāgara prabhu yuyut nareswara sira, têkwan rakwa sirānadistita sarīra tan hana waneh, hetunyan dwaya saiwa boddha san amūja nūni satata."

Terjemahan:
"Adapun keindahan candi makam itu terdengar sejak dahulu, yang mendirikan sang raja Kertanagara (Singhasari), kakek buyut sang Baginda (Raja Hayam Wuruk). Dan lagi, seperti yang diketahui, hanya jasad beliau (Raja Kertanagara) yang dikebumikan disitu, begitulah, pengikut Siwa-Buddha, memuja candi itu sedari dulu dengan cara yang benar."

(Bait 2) "Cihnan candi ri sor kasaiwan apucak kaboddhan i ruhur, mwan ro jro siwawimbha sobhita halêp nirāparamitā, aksobhya pratime ruhur makuta tan hanoliyanika, sanke siddhi niran winasa tuhu sūnyatwa parama."

Terjemahan:
"Ciri-ciri candinya adalah bagian bawahnya bersifat Siwa, dan Buddha di bagian puncak tertingginya, adapun tanda kedua, di dalam terdapat arca Siwa yang cemerlang, pesona tak terperikan, (sedangkan) arca Aksobhya di bagian atasnya bermahkota, tiada tara indahnya, yang karena suci dan kesempurnaannya, sesungguhnya yang utama dan sejati telah kembali ke Surgaloka."

PUPUH 57
(Bait 4) "Pilih anala çararkka rakwa çakabde hyan arccan hilaɳ, ri hilanira sinamber iɳ bajraghosa sucandi dalm, pawarawarahiraɳ mahaçrawakawas/ ndatan ançaya, pisaninu waluya darmma tkwan kadohan huwus."

Terjemahan:
"Tahun Saka api memanah hari (1253) itu hilangnya arca, Waktu hilangnya halilintar menyambar ke dalam candi, Benarlah kabaran pendeta besar bebas dari prasangka, Bagaimana membangun kembali candi tua terbengkalai?." 

Kamis, 04 Januari 2018

KONSEP TRI MANDALA PADA KOMPLEK PEMAKAMAN SUNAN SENDANG DUWUR

Bentuk bangunan pada komplek pemakaman Sunan Sendang Duwur di Paciran - Lamongan, bisa dibilang masih lumayan utuh dari konsep Tri Mandala (Tri = Tiga dan Mandala = Wilayah/Daerah).

Gapura Bentar atau Candi Bentar 

Konsep Tri Mandala terdiri dari Tiga Ruang (Tiga Gapura). Ruang pertama disebut Kanistama/Nista Mandala (area/zona luar), di ruangan ini biasa dilakukan kegiatan fisik yang bersifat "kasar" seperti membuat tempat sesajen atau persiapan upacara keagamaan dan lain-lainnya. Mandala yang kedua adalah Madhyama/Madhya Mandala (area tengah), ruangan ini diperuntukkan untuk kegiatan seni seperti menari, memainkan gamelan, berkidung/bermocopat, dan lain sebagainya. Sedangkan untuk ruang yang terakhir disebut dengan Uttama Mandala (area utama), yaitu suatu ruangan yang khusus untuk melakukan kegiatan sembahyang/ibadah. 

Gapura Ruang Uttama Mandala Berupa Gapura Paduraksa Bersayap 

Setiap memasuki kemasing-masing ruang mandala akan melalui gapura yang bentuknya berbeda-beda. Gapura untuk masuk ke Uttama Mandala berupa Candi Kurung/Gapura Paduraksa (Melengkung tertutup menjadi satu tangkaian). Di komplek pemakaman Sunan Sendang Duwur, gapura untuk memasuki ruang Uttama Mandala berupa Candi Kurung Paduraksa Bersayap, sama seperti yang terdapat di Pura Luhur Uluwatu Bali. Sedangkan gapura untuk masuk ke Kanistama/Nista Mandala berupa Gapura Bentar atau Candi Bentar.

Bagian Belakang Gapura Paduraksa Bersayap 

Selasa, 02 Januari 2018

KAMPUNG KUNO CANE, KAMPUNG ASAL PRASASTI CANE 943 ÇAKA/1021 M

Prasasti Cane (koleksi Museum Nasional) diyakini dan diduga kuat berasal dari Dusun Cane, Desa Candisari, Kecamatan Sambeng, Kabupaten Lamongan. Dugaan ini diperkuat dari toponim Cane yang hanya ditemukan di Lamongan. Nama yang identik dengan roti khas dari India (roti cane/canai) ini memang tidak dijumpai di tempat-tempat lain di seluruh Jawa Timur, bahkan mungkin di seluruh Jawa. Jadi, nama Desa/Dusun Cane itu hanya terdapat di Lamongan. Selain toponim, dugaan itu juga didukung dengan bukti sebaran prasasti peninggalan raja Airlangga yang banyak ditemukan di wilayah sekitaran Cane (wilayah Lamongan Selatan). Bukan hanya itu, dari keterangan warga Cane yang saya jumpai, mereka mengaku bahwasanya wilayah Cane pada zaman dulu merupakan benteng kerajaan Airlangga.

Cerita tutur itu juga disertai dengan bukti jejak bata kuno berukuran besar yang menurut warga setempat diyakini sebagai bekas reruntuhan benteng kerajaan Airlangga. Maka tidak heran jika di Dusun yang mempunyai nama unik dan langka ini, banyak dihiasi papan keterangan mengenai raja Airlangga. Disana, nama putra Airlangga, Mapañji Garasakan, juga diabadikan menjadi nama sebuah jalan.

Papan Keterangan dan Plang Nama Jalan di Dusun Cane

Prasasti Cane (943 Çaka/1021 M) dikeluarkan oleh raja Airlangga dengan gelar abhiseka Çri Mahãrãja Rakai Halu Çri Lokeçwara Dharmmawaṅça Airlaṅga Anãntawikramottuṅgadewa, dengan Çrĩ Sanggrãmawijaya Dharmmaprasãdottunggadewi (anak perempuan Airlangga dengan permaisuri) sebagai Rakryãn Mahãmantrĩ i Hino untuk pertama kalinya.

Prasasti Cane merupakan prasasti pertama pada masa pemerintahan raja Airlangga. Dan, jika dilihat pada bagian Sambandha-nya atau bagian alasan prasasti tersebut dikeluarkan oleh raja, prasasti Cane masuk pada fase konsolidasi. Fase dimana pemberian status sima pada Desa Cane dikarenakan rasa simpati raja kepada penduduk Desa Cane yang berjuang di garis depan dengan menjadikan desanya sebagai benteng pertahanan. Pada masa fase konsolidasi biasanya isi prasasti menjelaskan pemberian anugerah sima kepada desa tertentu karena jasa mereka dalam membantu raja pada saat peperangan.

Papan Selamat Datang di Dusun Cane

Prasasti Cane menyebut lokasi penting, yakni Keraton Airlangga di Wwatan Mas: 
"..Çrĩ Mahãrãja ri maniratna singhasana makadatwan ri wwatan mas..."
"..Sri Maharaja di singgasana permata berkedaton/berkeraton di Wwatan Mas..".


Selain itu, prasasti Cane juga menyebut adanya bangsa asing yang dikenai pajak (wārggā kilalān):
"..i kanaŋ wārggā kilalān kliŋ āryyā sińhala paņdikira dravida campa kmir rĕmĕn..".
"..adalah wargga kilalan (warga yang dikenai pajak khusus) yaitu klin (keling) aryya (arya) sinhala (Srilangka) pandikira (Pandikira dari India) drawida (salah satu suku dari India) campa (Vietnam) kmir (Khmer) remen (atau Mon adalah salah satu suku dari Burma)..". 

Adanya penyebutan bangsa asing di prasasti Cane, menunjukkan bahwa masyarakat Cane pada masa itu telah menjalin hubungan (ekonomi, sosial, budaya) dengan bangsa dari Asia Selatan maupun Asia Tenggara. 

FOLKLOR CANE BUKTI AIRLANGGA DAN GARUḌAMUKHA BERJAYA DI BUMI JANGGALA

Cerita tutur merupakan salah satu bentuk kearifan lokal. Tradisi menuturkan peristiwa sejarah sudah lama diperkenalkan oleh leluhur kita seb...