Sabtu, 30 Desember 2017

BEGANDRING BARENG PAK WARSIM, PERAWAT CUNGKUP BEKAS PRASASTI PAMWATAN/PAMOTAN 964 ÇAKA/1042 M

Prasasti Pamwatan/Pamotan 964 Çaka/1042 M (19 Desember 1042 M) secara administrasi terletak di  Desa Pamotan, Kecamatan Sambeng, Kabupaten Lamongan. Prasasti berbahan andesit dengan aksara dan bahasa Jawa Kuna ini dikeluarkan oleh Raja Airlangga dengan gelar abhiseka Çri Mahãrãja Rakai Halu Çri Lokeçwara Dharmmawaṅça Airlaṅga Anãntawikramottuṅgadewa dengan Çrĩ Samarawijaya sebagai Rakryãn Mahãmantrĩ i Hino-nya (Damais 1955 : 183). 

Pada sisi depan (recto) di bagian atas prasasti terdapat tulisan dalam aksara Kwadrat yang terbaca 'dahaṇa'. Sayangnya, prasasti yang isinya masih belum tuntas dibaca itu, karena bagian bawah prasasti masih terpendam tanah dan diduga masih ada aksaranya, hilang dicuri pada bulan September 2003 (sumber: Radar Bojonegoro). Hilangnya prasasti yang oleh warga sekitar dikenal dengan sebutan Watu Gong ini, menimbulkan perdebatan panjang mengenai tafsiran kata 'dahaṇa', apakah merujuk pada Dahaṇa(Pura) atau bukan?. 

Pada kunjungan saya ke lokasi cungkup bekas berdirinya prasasti Pamotan, saya beruntung bisa berjumpa dengan bapak Warsim, beliau adalah perawat bangunan tersebut. Rumah beliau tepat berada di sampingnya. Di tempat yang sejuk dan rindang itu kami berbincang banyak hal mengenai Prasasti Pamotan. Menurut bapak Warsim, hilangnya prasasti Pamotan sangat disayangkan oleh warga, mereka merasa sangat kehilangan. 

Foto Bersama Bapak Warsim di Depan Cungkup Bekas Prasasti Pamotan 

Menurut beliau, prasasti Pamotan adalah peninggalan leluhur yang sangat mereka hormati dan mereka keramatkan. Dalam tradisi Desa Pamotan, seperti acara nyadran atau sedekah bumi, lokasi pelaksanaannya secara turun temurun selalu terpusat disana. Bahkan, apabila ada warga desa Pamotan yang mempunyai hajat atau mau ada acara hajatan, mereka mempunyai tradisi untuk mengirim Tumpeng dan berdoa disana. 

Bapak Warsim juga bercerita bahwa dirinya sejak kecil sudah akrab dengan Prasasti Pamotan, sehingga beliau sangat hafal betul dengan kondisi fisik prasasti tersebut. Beliau juga mengatakan kesiapannya menjadi saksi untuk memastikan apakah sebuah prasasti itu benar-benar asli prasasti Pamotan atau bukan, jikalau prasasti tersebut ditemukan.

Foto Prasasti Pamotan 

Bapak paruh baya itu juga bercerita, bahwa seluruh pelaku yang terlibat dalam pencurian prasasti batu tersebut semuanya meninggal dunia. Seketika itu saya langsung teringat akan kutukan/Sapatha yang biasanya terdapat pada bagian bawah prasasti yang berisi tentang kutukan sumpah serapah bagi siapa pun yang berani mencabut prasasti dari tempatnya. Ya, Percaya nggak percaya.

Bapak Warsim juga menuturkan bahwasanya, dirinya dan juga warga desa Pamotan masih mempercayai jika energi atau yoni dari Prasasti itu masih ada dan masih tertinggal di dalam cungkup tersebut. Kendati secara fisik prasasti batunya sudah tidak ada lagi, tetapi energi atau yoninya masih tetap ada.

Foto di Depan Cungkup Bekas Prasasti Pamotan 

Itulah alasannya mengapa sampai saat ini tempat tersebut masih dikeramatkan. Bapak Warsim juga berpesan jika sewaktu-waktu saya ingin berkunjung ke sana lagi, beliau berharap untuk dikabari terlebih dahulu, agar beliau bisa menemani. Bapak yang sangat ramah itu merasa senang jika bisa menemani, dan beliau menekankan bahwasanya beliau ikhlas dan tidak mengharapkan imbalan apapun. 

Jumat, 29 Desember 2017

EMPAT LINGGA DI GUNUNG PUCANGAN

Gunung Pucangan secara administrasi masuk wilayah Desa Cupak, Kecamatan Ngusikan, Kabupaten Jombang. Gunung yang terkenal akan cerita mistisnya ini diduga sebagai tempat asal Prasasti Pucangan yang sekarang kabarnya ditelantarkan di gudang Museum di Calcutta, India. Di gunung keramat ini kita bisa menjumpai beberapa Sendang atau kolam pemandian, seperti Sendang Dermo dan Sendang Widodaren. Pada hari tertentu (Malam Jumat Legi) gunung ini akan ramai dikunjungi oleh warga yang mempunyai hajat untuk meminta berkah. 

Lingga yang Posisinya Berada di Depan Mushola dan di Bawah Pohon Rindang

Di gunung Pucangan kita juga bisa menjumpai beberapa makam kuno, seperti makam Dewi Kili Suci dan beberapa makam kuno lainnya yang beberapa diantaranya masih berkijingkan tatanan bata kuno dan ada juga beberapa makam kuno yang sudah berkijing keramik dan bercungkup permanen (Bangunan Baru/Baru Dipugar). Apakah makam-makam kuno tadi memang benar-benar makam atau bukan?, “jangan-jangan?”. Sebaran bata kuno di gunung Pucangan memang lumayan banyak, bahkan anak tangga di gunung Pucangan juga terbuat dari tatanan bata kuno. Jadi, patut diduga jika sebaran bata kuno tersebut adalah bekas reruntuhan bangunan. 

Selama melakukan penelusuran di gunung Pucangan, saya menemukan ada total empat Lingga di gunung ini. Dua diantaranya masih dalam kondisi bagus, berukuran besar, berdiri berdampingan, dan dijadikan nisan dua makam (dicat warna putih) yang berada di dalam cungkup makam Dewi Kili Suci. Entah kedua Lingga yang berdampingan tersebut masih in-situ atau sudah tidak lagi?.

Lingga Bercat Putih yang Dijadikan Nisan Makam yang Berada di Dalam Cungkup Makam Dewi Kili Suci

Sedangkan untuk dua Lingga lainnya, yang satu posisinya berada di depan Mushola di bawah pohon rindang dan yang satunya lagi berada di samping tiga makam kuno yang sekarang sudah dikelilingi pagar tembok, berlantai dan berkijing keramik, serta diberi atap yang menyerupai rumah gadang. Bangunan tersebut tergolong masih baru, karena waktu saya mengunjungi gunung ini tahun 2016, bangunan itu masih belum ada dan dulu ketiga makam panjang tersebut, kijingnya masih berupa tatanan bata kuno. Kedua Lingga tadi diperkirakan sudah tidak in-situ lagi. Jadi, jumlah total Lingga yang berada di Gunung Pucangan semuanya berjumlah empat Lingga dengan ukuran yang hampir sama besar. 

Kamis, 28 Desember 2017

PRASASTI SENDANG MADE

Prasasti Sendang Made disimpan di dalam salah satu bilik di pinggir sendang yang ada di komplek Sendang Made. Sendang Made sendiri secara administrasi masuk wilayah Desa Made, Kecamatan Kudu, Kabupaten Jombang. Di dalam bilik yang pintunya selalu tertutup dan digembok ini juga tersimpan fragmen arca, fragmen terakota, panel relief, dan gentong. Untuk bisa memasukinya dan melihat benda-benda tersebut, kita harus izin terlebih dahulu ke Jupelnya, yakni bapak Supono atau yang akrab disapa Mbah No. Alhamdulillah.. Saya berkesempatan memasuki bilik tersebut untuk yang kedua kalinya dengan didampingi Mbah No. 

Memasuki Bilik Tempat Menyimpan Prasasti, Fragmen Arca, Fragmen Terakota, Panel Relief, dan Gentong, Dengan Didampingi Mbah No

Prasasti Sendang Made ditulis dengan menggunakan aksara Kwadrat yang lazim digunakan pada era Airlangga. Tapi anehnya, diatas prasasti terdapat batu angka tahun era Majapahit. Angka tahun tersebut terbaca 1363 Çaka/1441 M, masa pemerintahan Bhra Prabhu Stri Dewi Suhita, raja Majapahit ke-8. Sedangkan aksara Kwadrat di prasasti terbaca (mohon maaf kalau salah dan mohon koreksinya):

[tuk = menari] 
[iŋ / ing = di] 
[wasanta = musim semi (bunga)] 
[yage..? = ?????] 
[paraṇdhi = dermawan/murah hati] 

Prasasti Sendang Made yang Ditulis Dengan Menggunakan Aksara Kwadrat, dan Diatasnya Terdapat Batu Angka Tahun Era Majapahit 

"Menari di musim semi". Pertanyaannya adalah apakah potongan isi prasasti tersebut ada kaitannya dengan legenda penyamaran Airlangga sebagai pengamen?. Hingga akhirnya lahir upacara adat 'kungkum' di Sendang Made yang sampai saat ini masih dilestarikan. Memang, prasasti ini menjadi petunjuk penting tentang keterkaitan antara Sendang Made dengan Raja Airlangga.

Rabu, 27 Desember 2017

SITUS SENDANG MADE

Sendang Made terletak di kaki Gunung Pucangan dan secara administrasi masuk wilayah Desa Made, Kecamatan Kudu, Kabupaten Jombang. Di Sendang Made kita bisa menjumpai beberapa sendang atau kolam pemandian, seperti Sendang Drajat, Sendang Pengilon, dan Sendang Paomben. Menurut legenda, saat berada disekitar Kapucangan, Airlangga sempat singgah di Sendang Made. Setelah mandi di sendang tersebut, Airlangga yang masih menyamar sebagai pengamen menjadi semakin laris. Dari legenda inilah lahir upacara adat 'Kungkum' yang hingga kini masih dilestarikan. Upacara adat tersebut biasanya dilakukan oleh para sinden agar karirnya semakin laris dengan berendam di dalam salah satu sendang yang ada di komplek Sendang Made, yakni Sendang Drajat.

Situs Sendang Made

Menurut Jupel Sendang Made, bapak Supono atau yang akrab disapa Mbah No, ritual 'Kungkum' atau mandi di Sendang Drajat bukan hanya dilakukan oleh para sinden, ada juga penyanyi cafe atau karaoke yang melakukan ritual tersebut. Bahkan, masyarakat umum yang mempunyai hajat juga melakukannya. Menurut Mbah No, untuk melakukan ritual mandi di Sendang Drajat harus izin kepadanya terlebih dahulu. Dan, bagi yang mau mandi disarankan untuk membawa bunga tujuh rupa. Aturan lainnya yang harus ditaati, yakni tidak diperbolehkan mandi dengan menggunakan sabun maupun sampo. Dan, bagi wanita yang sedang datang bulan dilarang keras untuk mandi di dalam Sendang. 

Sendang Drajat 

Di Sendang Made kita juga bisa menjumpai beberapa benda cagar budaya, seperti prasasti, fragmen arca, panel relief, dan gentong. Benda-benda tersebut diamankan di dalam salah satu bilik di pinggir sendang yang pintunya selalu tertutup dan digembok.

Benda-benda Cagar Budaya yang Disimpan di Dalam Bilik

Selasa, 26 Desember 2017

PRASASTI MUNGGUT/SUMBER GURIT 944 ÇAKA/1022 M

Prasasti Munggut/Sumber Gurit secara administratif terletak di Dusun Sumber Gurit, Desa Katemas, Kecamatan Kudu, Kabupaten Jombang. Prasasti yang terbuat dari batu andesit dengan aksara Kawi dan bahasa Jawa Kuna ini diperkirakan masih in-situ. Kondisi prasasti dalam keadaan baik, utuh dan terawat, diberi cungkup, berlantai keramik dan dikelilingi pagar tembok. Aksaranya pun masih terlihat jelas dan bisa dibaca. Prasasti peninggalan Raja Airlangga ini letaknya persis di pekarangan/halaman rumah warga (berdiri di depan rumah warga). Menurut keterangan Jupelnya, bapak Badri, rumah warga tersebut tidak lain adalah rumah milik bapaknya si Jupel sendiri. 

Foto Bersama Prasasti Munggut/Sumber Gurit 

Prasasti yang berbentuk blok dengan puncak kurawal ini semua sisinya terpahat/terukir aksara, baik sisi depan (recto), sisi belakang (verso), maupun kedua sisi lainnya/sisi samping (margin). Prasasti Munggut dikeluarkan oleh Raja Airlangga dengan gelar abhiseka Çri Mahãrãja Rakai Halu Çri Lokeçwara Dharmmawaṅça Airlaṅga Anãntawikramottuṅgadewa, dengan Çrĩ Sanggrãmawijaya Dharmmaprasãdottunggadewa sebagai Rakryãn Mahãmantrĩ i Hino-nya. Isi prasasti Munggut, selain tentang penetapan sima/perdikan bagi penduduk Desa Munggut (sekarang masuk dalam wilayah Dusun Sumber Gurit), juga menyebut Keraton Airlangga di Wwatan Mas. Prasasti yang menyebut Keraton Wwatan Mas selain Prasasti Munggut, yakni Prasasti Cane (943 Çaka/1021 M) dan Prasasti Terep (954 Çaka/1032 M).

PRASASTI KUSAMBYAN/GROGOL

Prasasti Kusambyan/Grogol secara administrasi terletak di Dusun Grogol, Desa Katemas, Kecamatan Kudu, Kabupaten Jombang. Prasasti yang terbuat dari batu andesit dengan aksara Kawi dan bahasa Jawa Kuna ini kondisinya sudah tidak utuh lagi, karena bagian atasnya pecah menjadi 9 bagian. Hal ini mengakibatkan angka tahun prasasti tidak bisa dibaca, karena bagian atas prasasti sudah rusak. Pada bagian atas prasasti inilah biasanya penanggalan ditulis, akan tetapi berdasarkan paleografi-nya diketahui berasal dari masa Raja Airlangga (1019-1042 M).

Kondisi Prasasti Kusambyan/Grogol yang Bagian Atasnya Pecah
Foto Bersama Prasasti Kusambyan/Grogol 

Prasasti yang diperkirakan masih in-situ ini menyebut dua lokasi penting, yang pertama yaitu keraton Maḍaṇḍĕr: "..ri kāla nikanaŋ śatru si cbek °an tamolaḥ madwal makadatwan °i madanḍĕr.." , "..pada saat musuh si Cbek terus menerus merusak keraton di Madaṇḍĕr..". Dan, yang kedua yaitu desa Kusambyan yang dikukuhkan menjadi daerah perdikan: "..simā ri pagĕḥ makarasa sumima thāninya °i kusambyan.." , "..daerah perdikan yang ditetapkan [dan] dinikmati [tersebut adalah] daerah perdikan di Desa Kusambyan..". 

Kamis, 21 Desember 2017

'PAMŪJĀ HYANG IWAK' DI PRASASTI WALAMBANGAN/PRASASTI JAYANEGARA I

Prasasti Walambangan/Prasasti Jayanegara I terbuat dari lempeng tembaga (Tamra Prasasti), dan ditemukan di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Prasasti yang baru ditemukan satu lempeng ini menggunakan aksara Kawi dan bahasa Jawa Kuna yang tertulis pada kedua sisinya. Pada sisi depan (recto) terdapat 8 baris tulisan dan pada sisi belakang (verso) terdapat 7 baris tulisan. 

Bagian yang memuat angka tahun tidak ada, tetapi menurut dugaan Poerbatjaraka, Prasasti Walambangan/Prasasti Jayanegara I berasal dari masa Jayanegara (Majapahit) yang ditulis setelah menumpas pemberontakan Nambi yang terjadi di Balambangan. Dugaan itu mengacu pada isi prasasti di bagian sisi depan (recto) baris ke-2: "..anapwa ikanang kārāmān i malambangan.." (Poerbatjaraka, 1936 : 39). Mengacu pada tulisan Poerbatjaraka, Yamin menuliskan angka tahun dikeluarkannya prasasti ini yaitu ± 1316 (Yamin, 1962 : 37, 40).

Menariknya, di dalam Prasasti Walambangan/Prasasti Jayanegara I disebutkan adanya pemujaan terhadap 'Hyang Iwak' (ikan yang dipuja atau ikan yang suci), seperti yang termuat pada sisi depan (recto) baris ke-5: 

"..pamūjā hyang iwak, sakinabhaktyanya ri lagi phalanyān susṭubhakti ri śrī mahārāja.."
"..pemujaan [kepada] hyang iwak, pemujaan yang tiada henti-hentinya sebagai tanda setia kepada Śrī Māharāja.." 

Bengawan Solo - Lamongan

Tokoh 'hyang iwak' ini memang misterius. Pemujaan terhadap hyang iwak selain diberitakan di prasasti Jayanegara I juga terberitakan di prasasti Kusambyan/Grogol (era Airlangga). Prasasti Kusambyan menyebutnya sebagai 'rahyang iwak'. Dan, menariknya prasasti Kusambyan letaknya dekat dengan sungai Brantas, apakah ini ada hubungannya dengan pemujaan terhadap rahyang iwak?. Begitu pula dengan prasasti Jayanegara I yang ditemukan di Lamongan, wilayah Lamongan juga dilalui Bengawan Solo, apakah ini juga ada hubungannya dengan pemujaan terhadap hyang iwak?

Jika mengacu pada dugaan Poerbatjaraka (pemberontakan Nambi), tentunya prasasti Jayanegara I tidak berasal dari Lamongan, jadi hanya ditemukan di Lamongan. Akan tetapi, prasasti Jayanegara I hanya menyebut çrī mahārāja saja tanpa menyebutkan nama dan gelarnya, juga tidak menyebut nama Nambi.

Adanya pemujaan kepada 'Hyang Iwak' oleh masyarakat Lamongan Kuna, diduga dikarenakan masyarakat Lamongan zaman dulu yang memuja 'Hyang Iwak' hidupnya bergantung pada sungai. Seperti diketahui bahwa, prasasti Jayanegara I ditemukan di Lamongan, yang mana Kabupaten ini dilalui oleh dua sungai besar, yakni Sungai Lamong dan Bengawan Solo beserta anak sungainya (Bengawan Njero).

Selasa, 19 Desember 2017

MENOLAK LUPA, PRASASTI PAMWATAN/PAMOTAN BUKTI JEJAK KERATON DAHAṆA(PURA) DI BHUMI LAMONGAN

Prasasti Pamwatan/Pamotan 964 Çaka/1042 M (19 Desember 1042 M) secara administratif terletak di Desa Pamotan, Kecamatan Sambeng, Kabupaten Lamongan. Tepatnya berada di lereng sisi Utara gunung Pucangan (lokasi asal prasasti Pucangan?). Prasasti berbahan batu andesit dengan aksara dan bahasa Jawa Kuna ini dikeluarkan oleh Raja Airlangga dengan gelar abhiseka Çri Mahãrãja Rakai Halu Çri Lokeçwara Dharmmawaṅça Airlaṅga Anãntawikramottuṅgadewa dengan Rakryãn Mahãmantrĩ i Hino-nya Çrĩ Samarawijaya (Damais 1955 : 183). 

Foto Prasasti Pamwatan/Pamotan yang Pada Sisi Depan (recto) Bagian Atas Prasasti Terpahat Tulisan 'dahaṇa' Dalam Aksara Kwadrat 

Pada sisi depan (recto) bagian atas prasasti terdapat tulisan yang berbunyi 'dahaṇa' dalam aksara kwadrat. Hal ini tentunya menimbulkan dugaan, bahwa wilayah desa Pamotan dan sekitarnya merupakan pusat Ibu Kota kerajaan atau Keraton Dahaṇa(Pura). Dahaṇa(Pura) sendiri diperkirakan sebagai ibu kota kerajaan Airlangga yang terakhir (Soemadio 2008 : 211). Nama Daha atau Dahaṇa(Pura) tersebut di dalam uraian Serat Calon Arang sebagai ibu kota/keraton kerajaan Airlangga, namun dalam uraian serat tersebut tidak disebutkan secara pasti dimanakah persisnya letak keraton Dahaṇa(Pura) itu berada.

Nama Dahaṇa/Daha diduga lebih dulu dijadikan sebagai nama ibu kota kerajaan Medang (Airlangga) dan Paṅjalu, sebelum akhirnya menjadi nama ibu kota kerajaan Kaḍhiri. Jadi, meskipun Medang, Paṅjalu, dan Kaḍhiri mempunyai nama ibu kota yang sama, yaitu Dahaṇa/Daha, tidak berarti Medang dan Paṅjalu itu identik dengan Kaḍhiri. Dalam Old Javanese English Dictionary (OJED), kamus Jawa Kuna versi terjemahan bahasa Inggris, 'dahaṇa' berasal dari kata dasar 'daha' yang artinya: to rule; regulate; be the leader; be the foremost; to exceed; excel (menguasai/memerintah; mengatur; menjadi pemimpin; menjadi terkemuka; melebihi/melampaui; mengungguli), dan mendapat tambahan atau akhiran 'ṇa' (pakai ṇ titik bawah) yang berarti untuk 'me-sangat-kan'. Jadi, kemungkinan 'dahaṇa'pura artinya adalah ibu kota/keraton/istana yang sangat (paling) terkemuka.

Foto Prasasti Pamwatan/Pamotan 

Sayangnya, prasasti yang isinya masih belum tuntas dibaca itu, karena bagian bawah prasasti masih terpendam tanah dan diduga masih ada aksaranya, hilang akibat dicuri. Prasasti Pamotan diperkirakan dicuri pada tengah malam tanggal 11 September 2003. Dugaan tersebut didasari dari keterangan beberapa warga desa Pamotan yang mengaku sudah tidak lagi menjumpai Prasasti batu tersebut di tempatnya sejak tanggal 12 September pagi (sumber: Radar Bojonegoro). Hilangnya prasasti Pamotan pada akhirnya menimbulkan perdebatan panjang dan melahirkan berbagai macam tafsiran mengenai kata 'dahaṇa' yang terukir di atas prasasti. 

Sebagai informasi tambahan, tepat pada hari ini, Selasa tanggal 19 Desember 2017 adalah hari ulang tahun desa Pamotan yang ke-975 tahun. Bila merujuk pada penanggalan di prasasti Pamotan, yakni 19 Desember 1042 Masehi (2017 - 1042 = 975).

• RDM Verbeek, dalam VBG 46,1891, "Oudheden van Java LIJST DER VOORNAAMSTE OVERBLIJFSELEN UIT DEN HINDOETIJD OP JAVA IET EENE OUDHEIDKUNDIGE KAART" hal 221, mencatat 435. Pamotan. District Mantoep, afdeeling Lamongan, Blad E. X. Een gebroken beschreven steen ; afdruk sedert 1888 in het Museum. Jaartal 964 Çaka.
• TBG 53, 1911 hal 249
• L Ch Damais, Etudes d’Epigraphie Indonesienne III hal 64-65 no 143 BEFEO XLVI fase 1. 1952
• L Ch Damais, Etudes d’Epigraphie Indonesienne IV hal 183. BEFEO XLVII fase 1. 1955
• Slamet Mulyana dalam Catatan singkat sejarah Kadiri Kuna, menyebut tanggal prasasti itu adalah 19 November 1042

Keadaan prasasti sudah tidak memungkinkan untuk diambil absklatnya, karena kondisi batu prasasti sudah sangat aus. Tinggi prasasti yang tampak sekitar 100 cm, sebagian terpendam tanah. Pada bagian atas batu prasasti terdapat aksara kwadrat yang berbunyi 'dahaṇa'. Baris pertama masih dapat terbaca, namun baris berikutnya sudah aus. Dua baris tepat di atas permukaan tanah sisi depan meskipun samar namun masih dapat terbaca. Prasasti ini tertulis pada ke empat sisinya. Secara administratif terletak di Dusun Pamotan, Desa Pamotan, Kecamatan Sambeng, Kabupaten Lamongan.

FOLKLOR CANE BUKTI AIRLANGGA DAN GARUḌAMUKHA BERJAYA DI BUMI JANGGALA

Cerita tutur merupakan salah satu bentuk kearifan lokal. Tradisi menuturkan peristiwa sejarah sudah lama diperkenalkan oleh leluhur kita seb...