Kamis, 27 Desember 2018

ÇRĨ MAHÃRÃJA MAPAÑJI ALAÑJUNG AHYÊS RAJA KEDUA KERAJAAN JAṄGALA

Çrĩ Mahãrãja Mapañji Alañjung Ahyês adalah raja kedua Kerajaan Jaṅgala. Raja yang mengeluarkan prasasti Bañjaran pada tahun 975 Çaka/1053 M ini, diduga kuat masih ada hubungan saudara dengan Mapañji Garasakan (sama-sama adik kandung Çri Sanggrãmawijaya). Karena keduanya mempunyai gelar yang sama, yakni Mapañji.

Prasasti yang didalamnya terdapat kalimat ʺgaruḍamukhaʺ tersebut memberitakan tentang raja yang semula tinggal di "pertapaan" di hutan Marsma Lor yang didatangi raja vassal (bawahan) Bañjaran bersama rakyat Jaṅgala untuk meminta agar dia mau merebut dan menduduki takhta kerajaan Jaṅgala (Bambang Soemadio, 1984 : 261). Jadi, patut diduga Mapañji Alañjung Ahyês adalah putra Airlangga dengan permaisuri yang menjadi "petapa" di dharma Gandhakuṭi di Kambang Çrĩ dengan segala hak-haknya sebagai bangsawan (anak raja) yang masih melekat, seperti yang terberitakan dalam prasasti Gandhakuṭi 964 Çaka/1042 M. 

Prasasti Gilang - Dusun Gilang, Desa Kalen, Kecamatan Kedungpring, Kabupaten Lamongan

Langkah Mapañji Alañjung Ahyês untuk mengkudeta kakaknya, Mapañji Garasakan, memang dilakukan pada waktu yang tepat. Proses pengambil alihan kekuasaan tersebut terjadi tidak lama setelah adanya dua kali peristiwa pertempuran yang melibatkan pasukan Mapañji Garasakan, yang pertama perang melawan Hãji Linggajaya, dan yang kedua perang melawan Hãji Paṅjalu. Pada tahun 974 Çaka/1052 M bulan Badrawada (22 Agustus 1052 M), Mapañji Garasakan mengeluarkan prasasti Malênga yang memberitakan tentang keberhasilannya menumpas pemberontakan raja vassal (bawahan) Hãji Linggajaya yang tidak setuju dengan kebijakan Airlangga untuk membagi dua kerajaannya.

Selang setahun kemudian, pada tahun 975 Çaka/1053 M bulan Çrawana (Juli-Agustus), Mapañji Garasakan mengeluarkan prasasti Garamãn (asal Dusun Graman, Desa Sambangrejo, Modo - Lamongan) yang memberitakan tentang perangnya dengan Hãji Paṅjalu (anak Çrĩ Samarawijaya). Dan, tidak lama setelah Mapañji Garasakan mengeluarkan prasasti Malênga (22 Agustus 1052 M) dan prasasti Garamãn 975 Çaka/1053 M bulan Çrawana (Juli-Agustus), kemudian muncul prasasti Bañjaran pada tahun 975 Çaka/1053 M bulan Asuji (September-Oktober) yang dikeluarkan oleh penguasa baru bhūmi Jaṅgala, yakni Çrĩ Mahãrãja Mapañji Alañjung Ahyês.

Di saat keluarnya prasasti Bañjaran itulah, takhta kerajaan Jaṅgala telah berpindah tangan, dari Mapañji Garasakan ke Mapañji Alañjung Ahyês. Keberhasilan pengambil alihan kekuasaan itu diduga terjadi karena faktor ketidaksiapan pasukan Garasakan untuk menghadapi pertempuran kembali melawan pasukan Alañjung Ahyês. Mengingat, tidak lama sebelumnya pasukan Garasakan baru saja selesai melakukan dua kali peperangan, yakni melawan pasukan Hãji Linggajaya dan melawan pasukan Hãji Paṅjalu, jadi otomatis kekuatannya menjadi berkurang.

Akan tetapi, status Mapañji Alañjung Ahyês sebagai penguasa di bhūmi Jaṅgala tidak berlangsung lama. Karena, selang beberapa bulan kemudian Mapañji Garasakan kembali mengeluarkan prasasti Truneng/Turun Hyang B (verso) pada tahun 976 Çaka/1054 Masehi. Sebenarnya angka tahun prasasti Truneng/Turun Hyang B (verso) pada bagian ratusan dan puluhan sudah aus, jadi hanya terbaca angka satuannya saja yaitu 6. Dan, karena prasasti ini eranya Airlangga sampai dengan Garasakan, jadi angka ratusannya pasti 9. Kemudian, karena prasasti Truneng/Turun Hyang B (verso) memberitakan tentang pertempuran antara Mapañji Garasakan (Jaṅgala) dengan Hãji Paṅjalu, dari sini bisa disimpulkan bahwa angka puluhannya pasti 7, merujuk pada prasasti Garamãn 975 Çaka. Jadi, bisa ditarik kesimpulan bahwa angka tahun prasasti Truneng/Turun Hyang B (verso) adalah 976 Çaka/1054 Masehi.

Dengan dikeluarkannya prasasti Truneng/Turun Hyang B (verso) inilah menandakan bahwa Mapañji Garasakan telah berhasil merebut kembali takhta kerajaan Jaṅgala yang sebelumnya sempat diduduki oleh Mapañji Alañjung Ahyês. Meskipun Mapañji Alañjung Ahyês hanya beberapa bulan saja menduduki takhta kerajaan Jaṅgala, bagaimanapun juga dia tetap layak disebut sebagai raja kedua Jaṅgala. Dan, jika saja seluruh prasasti batu yang tersebar di kabupaten Lamongan kondisinya tidak rusak/aus dan bisa dibaca, tentunya riwayat perjalanan kerajaan Jaṅgala akan bisa dibaca dengan lebih jelas dan lebih lengkap lagi.

Prasasti Lebak - Dusun Lebak, Desa Mojorejo, Kecamatan Modo, Kabupaten Lamongan

Sebagai informasi tambahan, di dalam prasasti Garamãn, Mapañji Garasakan menyebut Hãji Paṅjalu sebagai kakaknya (kakak sepupu), seperti yang terberitakan pada lempeng ke-2 baris ke-5 recto: "..mapalaha lan kaka nirã hãji paṅjalu.." ; "..menyerang kakak beliau (yaitu) Hãji paṅjalu..". Perang antara Mapañji Garasakan dengan (kakak sepupunya) Hãji Paṅjalu juga terberitakan pada prasasti Truneng/Turun Hyang B (verso) yang dikeluarkan Mapañji Garasakan pada tahun 976 Çaka/1054 M. Dan, perang saudara tersebut akhirnya dimenangkan oleh Mapañji Garasakan (Jaṅgala).

Anak Çrĩ Samarawijaya yang berjuluk Hãji Paṅjalu tadi merupakan raja pertama Kerajaan Paṅjalu yang mengeluarkan prasasti Mãtaji di tahun 973 Çaka/1051 M. Pada prasasti tersebut di sisi recto baris ke-16 ada kalimat: "..hajyan paṅjalu kala.." ; "..hajyan paṅjalu ketika..". Hãji dan Hajyan artinya sama yaitu Raja; Bangsawan; Pangeran; Yang Mulia.

JAṄGALA JAYATI 

Sabtu, 15 Desember 2018

MISTERI LETAK WALAMBANGAN PADA PRASASTI JAYANEGARA I

Prasasti Walambangan/Prasasti Jayanegara I terbuat dari lempeng tembaga (Tamra Prasasti), dan ditemukan di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Prasasti yang baru ditemukan satu lempeng ini menggunakan aksara Kawi dan bahasa Jawa Kuna yang tertulis pada kedua sisinya. Pada sisi depan (recto) terdapat 8 baris tulisan dan pada sisi belakang (verso) terdapat 7 baris tulisan.

Bagian yang memuat angka tahun dan nama raja tidak ada, tetapi menurut dugaan Poerbatjaraka, Prasasti Walambangan/Prasasti Jayanegara I berasal dari masa Jayanegara (Majapahit) yang dikeluarkan setelah menumpas pemberontakan Nambi yang terjadi di Balambangan. Dugaan itu mengacu pada isi prasasti di bagian sisi depan (recto) baris ke-2: "..anapwa ikanang kārāmān i walambangan.." (Poerbatjaraka, 1936 : 39). Mengacu pada tulisan Poerbatjaraka, Yamin menuliskan angka tahun dikeluarkannya prasasti ini yaitu ± 1316 M (Yamin, 1962 : 37, 40).

Karena prasasti Walambangan hanya menyebut Çrī Mahārāja tanpa menyebutkan nama dan gelarnya, juga tidak menyebut nama Nambi (pemberontakan Nambi), sehingga memunculkan dugaan-dugaan lainnya tentang siapa sebenarnya raja yang mengeluarkan?, dan juga lokasi daerah Walambangan yang diberikan anugerah status Sima?. Jika mengacu pada dugaan Poerbatjaraka (pemberontakan Nambi), tentunya prasasti Walambangan tidak berasal dari Lamongan, jadi hanya ditemukan di Lamongan. 

Yamin, 1962 : 37, 40

Menariknya, prasasti Walambangan menyebut adanya pemujaan terhadap 'hyang iwak' (ikan yang dipuja atau ikan yang suci), seperti yang termuat pada sisi depan (recto) baris ke-5:
"..pamūjā hyang iwak, sakinabhaktyanya ri lagi phalanyān susṭubhakti ri Çrī Mahārāja.."
"..pemujaan [kepada] hyang iwak, pemujaan yang tiada henti-hentinya sebagai tanda setia kepada Çrī Mahārāja.."

Pada masa Airlangga juga terdapat prasasti yang menyebut adanya pemujaan terhadap 'rahyang iwak', yakni prasasti Kusambyan/Grogol, lokasi di Dusun Grogol, Desa Katemas, Kecamatan Kudu, Kabupaten Jombang, dekat wilayah Lamongan Selatan. Prasasti ini memberitakan bahwa Çrī Mahārāja (Airlangga) menganugerahkan daerah perdikan di Desa Kusambyan kepada penduduk aslinya (wargga mūla) karena mereka harus melakukan pemujaan untuk 'rahyang iwak'. 

Prasasti Kusambyan (in situ) letaknya dekat dengan Sungai Brantas, pertanyaannya adalah apakah pemujaan terhadap 'rahyang iwak' ada kaitannya dengan letak prasasti yang dekat dengan Sungai Brantas?. Begitu juga dengan prasasti Walambangan yang ditemukan di Lamongan, pertanyaannya juga sama apakah pemujaan terhadap 'hyang iwak' juga ada korelasinya dengan lokasi prasasti yang dekat dengan Bengawan Solo?.

Bengawan Solo - Lamongan

Adanya pemujaan kepada 'hyang iwak' oleh masyarakat Lamongan Kuno, diduga dikarenakan masyarakat Lamongan zaman dulu yang memuja 'hyang iwak' hidupnya bergantung pada sungai. Seperti diketahui bahwa, prasasti Walambangan ditemukan di Lamongan, yang mana Kabupaten ini wilayahnya dilalui oleh dua sungai besar, yakni Sungai Lamong dan Bengawan Solo beserta anak sungainya (Bengawan Njero).

Tanda tanya besar (?) lainnya adalah mungkinkah ada perubahan toponim dari Walambangan (Lambangan) menjadi Lamongan?. Wallahu a’lam bis-shawab (hanya Allah yang lebih mengetahui kebenaran yang sesungguhnya).

FOLKLOR CANE BUKTI AIRLANGGA DAN GARUḌAMUKHA BERJAYA DI BUMI JANGGALA

Cerita tutur merupakan salah satu bentuk kearifan lokal. Tradisi menuturkan peristiwa sejarah sudah lama diperkenalkan oleh leluhur kita seb...