Rabu, 11 Desember 2019

RAKRYAN PATIH MAJAPAHIT PU GAJAH MADA BERASAL DARI LAMONGAN?

Pada kisaran tahun 1870-an, J.A.B. Wiselius, seorang controleur Jawa dan Madura, mencatat dan melapor ke Pemerintah Residence dan Pusat mengenai keberadaan suku atau komunitas Modo di wilayah District Lengkir Afdelling Lamongan yang selalu mengkaitkan nama Modo dan beberapa tempat kuno di sekitarnya dengan tokoh Rakryan Patih Majapahit Pu Gajah Mada. 

Sosok diduga Gajah Mada, Sablon Kaos Produksi Oblong Majapahit, Trowulan - Mojokerto 

Laporan Wiselius tersebut merujuk pada cerita tutur atau folklore yang berkembang di masyarakat. Menurut cerita lokal masyarakat Modo, disebutkan ada banyak tempat-tempat kuno dan petilasan di sekitar wilayah Modo dan Ngimbang yang berkaitkan dengan Gajah Mada, seperti situs megalitik (punden berundak) Sitinggil di Modo dan Makam Dewi Andong Sari (makam ibunda Gajah Mada) di Gunung Ratu, Ngimbang. 

Situs Megalitik (Punden Berundak) Sitinggil di Dusun Medalem, Desa Mojorejo, Kecamatan Modo - Lamongan 

Folklore mengenai Gajah Mada tersebut tentunya bukanlah cerita baru atau Hoax hasil bualan orang zaman sekarang. Cerita tutur tersebut sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu, dan secara turun temurun terus dituturkan dari generasi ke generasi hingga kini. Perlu untuk diketahui bahwa baik cerita tutur atau folklore maupun data tekstual (prasasti atau susastra) sama-sama merupakan sumber sejarah.

Anak Tangga Menuju Makam Ibunda Gajah Mada di Gunung Ratu, Dusun Cancing, Desa Sendangrejo, Kecamatan Ngimbang - Lamongan 

Sebagai informasi, di wilayah Kecamatan Modo terdapat 4 prasasti batu yang diduga peninggalan Raja Airlangga (Raja Medang Kahuripan) atau anaknya, Mapañji Garasakan (Raja Jaṅgala Kahuripan), yakni prasasti Sambangan I & II (Lokasi Dusun Sambangan, Desa Sambanganrejo), prasasti Lebak (Lokasi Dusun Lebak, Desa Mojorejo), dan prasasti Sedah (Lokasi Dusun Sedah, Desa Pule). Perlu untuk diketahui bahwa prasasti-prasasti Airlangga di Lamongan masuk pada fase konsolidasi. Pada masa fase konsolidasi biasanya isi prasasti menjelaskan pemberian anugerah sīma kepada desa tertentu karena jasa mereka dalam membantu raja pada saat peperangan. Jadi, Joko Modo (nama kecil Gajah Mada) dibesarkan di tanah pemberani yang berstatus Sima Swatantra pada masa Airlangga. 

Prasasti Sambangan I, Lokasi Dusun Sambangan, Desa Sambanganrejo, Kecamatan Modo - Lamongan 

Sesuai dengan nama daerah dimana Gajah Mada dibesarkan, yakni Modo atau Mada. Dalam bahasa Sanskerta (India Kuno) Mada bermakna "mabuk", juga bisa bermakna "sombong". Dan, di Jawa, Mada diberi makna baru menjadi "berani". Contoh lain: Kata Mudha kalau dalam bahasa Sanskerta bermakna "bodoh", tapi di Jawa bermakna "anom".

Gajah sendiri bukan bahasa asli Nusantara, tapi dari bahasa Sanskerta. Beberapa nama Gajah lainnya dalam bahasa Sanskerta ialah:

1) Dwipāngga = dwipa + angga, artinya badan (sebesar) pulau.
2) Dwirada = dwi + rada, artinya (memiliki) dua taring (gading).
3) Hasti = dari kata "hasta", artinya "tangan". Yaitu, hewan yang memiliki tangan berwujud belalai.

Sedangkan, bahasa Jawa asli untuk menyebut Gajah adalah Liman dari kata "lima", maksudnya ialah: "hewan yang (seolah) memiliki lima kaki (4 kaki + 1 belalai)"

Jadi, Joko Modo (pemuda dari Modo), ketika berkarier di Majapahit merubah namanya menjadi Gajah Mada, yang bermakna Gajah yang berani, atau Gajah yang tidak takut mati, atau Gajah yang Heroik. Karena beliau dibesarkan atau berasal dari tanah Modo atau Mada yang bermakna "berani".

Prasasti Sambangan II, Lokasi Dusun Sambangan, Desa Sambanganrejo, Kecamatan Modo - Lamongan 

Cerita tutur mengenai Gajah Mada yang lahir di Gunung Ratu - Ngimbang dan dibesarkan di Modo, dapat dihubungkan dengan peristiwa Pemberontakan Ra Kuti. Pararaton mengisahkan:

"..Kemudian muncul peristiwa (pemberontakan) Ra Kuti. Ketika Ra Kuti belum mati, raja (Jayanagara) bermaksud diungsikan pergi ke Badander. Perginya pada waktu malam, tidak ada seorangpun yang tahu, hanya diiringi oleh pasukan Bhayangkara, semuanya yang kebetulan menjaga ketika raja pergi, ada sebanyak lima belas orang. Pada waktu itu Gajah Mada menjadi Bekel (kepala pasukan) Bhayangkara, kebetulan waktu itu mendapat tugas menjaga, itulah sebabnya dia mengiringkan raja ketika pergi. Lamalah raja di Badander.." [Sumber: Kitab Pararaton atau Naskah Katuturanira Bagian VIII - J.L.A. Brandes, 1897, Pararaton (Ken Angrok) of  Het Boek Der Koningen van Tumapěl en van MAJAPAHIT].

Prasasti Sedah, Lokasi Dusun Sedah, Desa Pule, Kecamatan Modo - Lamongan 

Terkait toponimi Baḍaṇḍĕr, di Kabupaten Jombang terdapat Dusun bernama Bedander yang masuk wilayah Desa Sumbergondang, Kecamatan Kabuh (nama Dusun pasti lebih tua dari nama Desa). Wilayah Kecamatan Kabuh - Jombang berbatasan langsung dengan wilayah Lamongan Selatan. Jadi, letak Bedander dekat dengan Gunung Ratu (Makam Ibunda Gajah Mada), dan juga dekat dengan Modo. Sehingga patut diduga, Gajah Mada mengungsikan raja Jayanagara ke Badander dengan pertimbangan penguasaan medan daerah itu, juga dukungan warga setempat, karena dekat dengan tanah kelahirannya.

Prasasti Lebak, Lokasi Dusun Lebak, Desa Mojorejo, Kecamatan Modo - Lamongan 

Tidak jauh dari Bedander, tepatnya di Dusun Grogol, Desa Katemas, Kecamatan Kudu - Jombang, terdapat prasasti batu yang diduga peninggalan Raja Airlangga, yakni Prasasti Kusambyan. Prasasti berbahan andesit dengan aksara dan bahasa Jawa Kuna ini menyebut dua lokasi penting, yaitu Kadatwan/Kedaton Maḍaṇḍĕr dan Desa Kusambyan yang dikukuhkan menjadi daerah perdikan/Sima (Sumber: Titi Surti Nastiti, Prasasti Kusambyan: Identifikasi lokasi Madander dan Kusambyan. AMERTA. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi vol 31 no 1 Juni 2013, hal 1-80). Kata Madaṇḍĕr mengingatkan kita pada daerah Baḍaṇḍĕr yang disebutkan dalam teks Pararaton. Meskipun ada perubahan nama dari Maḍaṇḍĕr ke Baḍaṇḍĕr, tetapi secara toponimi perubahan ini bisa diterima. Baḍaṇḍĕṛ adalah nama tempat pengungsian raja Jayanagara. Jadi, patut diduga bahwasanya raja Jayanagara waktu itu diungsikan di suatu tempat yang dulunya merupakan keraton/istana pada masa Airlangga. 

Prasasti Kusambyan/Grogol, Lokasi Dusun Grogol, Desa Katemas, Kecamatan Kudu - Jombang 

Dugaan bahwa Gajah Mada berasal dari Lamongan cukup beralasan, karena jarak antara Bedander dengan Gunung Ratu - Ngimbang tidaklah jauh, begitu pula dengan Modo. Suatu kebiasaan, jika ada situasi Chaos di ibu kota maka para penguasa akan berusaha menyelamatan diri ke daerah asalnya yaitu daerah dimana ia dilahirkan dan dibesarkan. Dengan pertimbangan agar mendapat dukungan dan perlindungan dari masyarakat sekitarnya, di samping juga penguasaan medan sehingga banyak membantu untuk perjuangan berikutnya.

Makam Ibunda Gajah Mada di Gunung Ratu, Dusun Cancing, Desa Sendangrejo, Kecamatan Ngimbang - Lamongan 

Di dekat makam ibunda Gajah Mada di Gunung Ratu yang berlokasi di Dusun Cancing, Desa Sendangrejo, Kecamatan Ngimbang, juga terdapat prasasti batu peninggalan Raja Airlangga, yakni Prasasti Sendangrejo 965 Çaka/1043 M yang terletak di Dusun Titing, Desa Sendangrejo, Kecamatan Ngimbang - Lamongan (Lokasi keduanya berada pada satu Desa, cuma beda Dusun). Prasasti Sendangrejo dikeluarkan oleh Raja Airlangga dengan gelar abhiseka Çri Mahãrãja Rakai Halu Çri Lokeçwara Dharmmawaṅça Airlaṅga Anãntawikramottuṅgadewa dengan Çrĩ Sanggrãmawijaya Dharmmaprasãdottunggadewa sebagai Rakryãn Mahãmantrĩ i Hino-nya.  Adalah sebuah hal yang layak dan pantas, jika seorang tokoh besar seperti Gajah Mada dilahirkan di tanah para pemberani yang berstatus Sima Swatantra pada masa Airlangga.

Prasasti Sendangrejo, Lokasi Dusun Titing, Desa Sendangrejo, Kecamatan Ngimbang - Lamongan 

Makam ibunda Gajah Mada di Gunung Ratu juga bertambah semakin spesial dengan ditemukannya Lampu Kuno era Majapahit pada tahun 1937. Lokasi temuan lampu kuno berbahan perunggu ini masuk wilayah Dusun Sawen, Desa Sendangrejo, Kecamatan Ngimbang - Lamongan, jaraknya-pun dekat dengan makam ibunda Gajah Mada (Satu Desa beda Dusun). Lampu kuno dengan atap berbentuk Meru ini memiliki tinggi 24 cm serta panjang rantai 44 cm, dan sekarang menjadi koleksi atau disimpan di Museum Nasional Jakarta dengan kode 6027. 

Menariknya, pada lampu kuno yang pernah menjadi Seri Kartu Pos terbitan Museum Royal Society of Batavia bidang Seni dan Sains (Seri D. Juli 1937) ini terdapat angka tahun 1270 Çaka/1348 M, tahun era Majapahit masa pemerintahan Dyaḥ Gĩtãrjjã Çrĩ Tribhuwanattuṅgadewĩ Jayawiṣṇuwarddanĩ, raja Majapahit ke-3. (Sumber: KITLV - Bronzen lamp uit de dertiende-vijftiende eeuw, afkomstig uit Lamongan in het Museum van het Bataviaasch Genootschap, http://media-kitlv.nl). 

Lampu Kuno Era Majapahit, Lokasi Temuan di Dusun Sawen, Desa Sendangrejo, Kecamatan Ngimbang - Lamongan 

Jika melihat tampilan dan model lampu, serta bahan lampu yang bisa dibilang mewah pada masanya itu, sehingga patut diduga jika pemilik lampu tersebut merupakan orang dalam istana, bisa raja, kerabat/keluarga raja, atau pejabat tinggi istana. Prasasti Prapancasarapura (OJO, LXXXIV) 1259 Çaka/1337 M yang di keluarkan Maharaja Çrĩ Tribhuwanattuṅgadewĩ Jayawiṣṇuwarddanĩ, menyebut jabatan Rakryan Patih saat itu dijabat oleh Pu Gajah Mada. 

Jadi, pada tahun 1270 Çaka/1348 M (angka tahun yang terdapat di Lampu Kuno), Gajah Mada saat itu statusnya adalah sebagai pejabat tinggi istana, karena masih menjabat sebagai Rakryan Patih. Perlu untuk diketahui bahwa Gajah Mada menjabat sebagai Rakryan Patih hingga masa pemerintahan Çrĩ Rãjasanagara/Hayam Wuruk, raja Majapahit ke-4. (Sumber: Prasasti Batur dan Prasasti Bendasari 1272 Çaka/1350 M). 

Karena minimnya catatan sejarah mengenai biografi Rakryan Patih Majapahit Pu Gajah Mada, pada akhirnya membuat kita hanya bisa menduga-duga dari mana sebenarnya beliau berasal, siapa ibunya, dan siapa bapaknya?.

Senin, 23 September 2019

GARUḌA THE SON OF WINATĀ

In the Hindu mythology, the Garuḍa whose statues are found in great numbers is regarded as the vehicle of Vishnu. 

Arca Garuḍa yang berfungsi sebagai pancuran air (Jaladwara berbentuk Garuḍa) ini terbilang unik dan langka. Pertama, karena kondisinya masih insitu dan ditemukan menempel pada dinding bagian Barat Pathirtan Sumber Beji (Sumber Beji, Kesamben, Ngoro, Jombang) posisi sebelah kanan. Kedua, pada kepala Garuḍa yang menghadap ke kiri ini terdapat mahkota atau hiasan bermotif Tengkorak (Tengkorak identik Bhairawa?). 

Arca Garuḍa yang Berfungsi Sebagai Pancuran air 

Selebihnya bisa ditafsirkan sebagai adegan dalam cerita Garuḍeya. Seperti pada tangan kanan Garuḍa yang terlihat mencengkeram leher ular yang kepalanya menempel di lengan kanan anak Sang Winata ini, sedangkan bagian tubuh lainnya si ular terlihat melilit dipergelangan tangan kanan sang Garuḍa. 

Penulis Blog Foto di Samping Garuḍa 

Tangan kirinya membawa Kendi Kamaṇḍalu atau Bejana berbentuk bulat yang berisi tirtha amŗta sebagai syarat untuk menebus kebebasan ibunya, Sang Winata. Dan, kaki kirinya terlihat mencengkeram erat dan menginjak badan ular yang kedua. Tidak hanya itu, ekor si ular tersebut juga diganjal dengan lutut kaki kanan sang Garuḍa. Kedua ular yang dicengkeram tersebut merupakan anak Sang Kadru. 

Kisah Garuḍeya ini berasal dari cerita Samudramanthana atau dikenal pula dengan nama Amŗtamanthana yang merupakan salah satu episode dalam wiracarita Mahabarata, yaitu Ādiparwa. 

Senin, 16 September 2019

MAKAM LELUHUR MENTERI LUAR NEGERI BELANDA, STEFANUS ABRAHAM BLOK

Di Waduk Prijetan/Krekah, Kedungpring - Lamongan terdapat sebuah makam Belanda, warga setempat menyebutnya makam Tuan Bligoor atau makam Londo Ireng. Menurut warga, Tuan Bligoor dulunya merupakan seorang petugas kontrol di Waduk Prijetan. Beliau mengabdi hingga akhir hayatnya, dan dimakamkan di area Waduk. Pada nisan makamnya tertulis nama JF A Dligoor yang lahir (GEB = Geboren) pada tahun 1860, dan meninggal (OVERL = Overleyen) pada tahun 1930. 

Makam Tuan Bligoor atau Makam Londo Ireng 

Makam Belanda, JF A Dligoor 

Dalam dokumen mengenai pembangunan Waduk Prijetan (dibangun tahun 1909 dan selesai serta diresmikan tahun 1917) disebutkan ada 4 insinyur yang terlibat dalam merancang serta membangun Waduk ini, mereka adalah Tuan Birman, Tuan Delos, Tuan Trong, dan Tuan Dliger. Nama terakhir dari keempat insinyur tersebut ada kemiripan dengan nama di nisan makam, yakni Dliger dengan Dligoor. Dan, Tuan Dliger sendiri diduga merupakan buyut dari Menteri Luar Negeri Belanda, Stefanus Abraham Blok. 

Minggu, 08 September 2019

LAMPU KUNO ERA MAJAPAHIT ASAL NGIMBANG - LAMONGAN

Bronzen lamp uit de veertiende-vijftiende eeuw, afkomstig uit Lamongan in het Museum van het Bataviaasch Genootschap. Prentbriefkaart uitgegeven door het Museum van het Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Serie D. Juli 1937). {sumber: http://media-kitlv.nl} . 

Foto Lampu Koleksi KITLV Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies, Published: 1937. 

Lokasi temuan lampu kuno berbahan perunggu ini secara administrasi masuk dalam wilayah Dusun Sawen, Desa Sendangrejo, Ngimbang - Lamongan. Lampu kuno era Majapahit ini ditemukan di dalam sebuah kendogo (bejana), semacam periuk nasi pada tahun 1937. Lampu kuno dengan atap berbentuk Meru ini memiliki tinggi 24 cm serta panjang rantai 44 cm, dan sekarang menjadi koleksi atau disimpan di Museum Nasional Jakarta dengan kode 6027. 

Menariknya, pada lampu kuno yang pernah menjadi Seri Kartu Pos terbitan Museum Royal Society of Batavia bidang Seni dan Sains (Seri D. Juli 1937) ini terdapat angka tahun 1270 Çaka/1348 M, era Majapahit masa pemerintahan Dyaḥ Gĩtãrjjã Çrĩ Tribhuwanottuṅgadewĩ Jayawiṣṇuwarddanĩ (Bhreng Kahuripan II). Ratu Tribhuwana Tunggadewi merupakan penguasa wanita pertama (raja wanita pertama) dalam catatan sejarah Kerajaan Majapahit, tepatnya raja Majapahit ke-3 (1328-1350 M). 

Tidak jauh dari lokasi temuan lampu kuno ini terdapat makam ibunda Gajah Mada, yakni makam Dewi Andong Sari di Gunung Ratu, Ngimbang - Lamongan. Jika melihat tampilan dan model lampu yang bisa dibilang mewah pada masanya itu, patut diduga jika pemilik lampu tersebut merupakan orang dalam istana, bisa kerabat atau keluarga raja. 

Sabtu, 07 September 2019

PRASASTI BUTULAN

Prasasti Butulan secara administratif terletak di Desa Gosari, Kecamatan Ujung Pangkah, Kabupaten Gresik. Isi prasasti yang terpahat di dinding Goa bunyinya sebagai berikut:

"Diwasani ngambal 1298 duk winahon denira San(g) Rama Samadya makadi siri Buyut Arjah Talikur si raka durahana"

"Pada tahun 1298 Çaka/1376 M di ambal waktu itu didiami oleh San(g) Rama Samadya Buyut Arjah Talikur yang tersingkirkan"

Prasasti Butulan yang Terpahat di Dinding Goa

"Ada saatnya dalam hidupmu, engkau ingin sendiri saja bersama angin, menceritakan seluruh rahasia, lalu meneteskan air mata." (Bung Karno)

Pelajaran yang bisa kita petik: Orang zaman dulu kalau lagi sakit hati akibat disingkirkan, pelariannya ya ke atas Gunung atau di dalam Goa untuk menenangkan diri sambil mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Beda dengan orang zaman sekarang, Ampuunnn.. Nyinyirnya itu lho nggak ketulungan, Nyinyir kok terus terusan. Hahahahahaha.. 

MEGALIETEN TE MODO BIJ LAMONGAN

Situs megalitik ini secara administrasi terletak di Desa Mojorejo, Kecamatan Modo, Kabupaten Lamongan. Peninggalan masa lampau berupa tatanan batu alami berbentuk punden berundak ini oleh masyarakat sekitar dikenal dengan nama Sitinggil (Siti artinya tanah dan Inggil artinya tinggi). Jika diamati, situs megalitik Sitinggil ini hampir mirip seperti candi Pendawa yang ada di gunung Pawitra/Penanggungan. Perlu untuk diketahui bahwa percandian yang ditemukan di gunung Penanggungan mayoritas berbentuk punden berundak, yang mana bentuk bangunan ini merupakan bentuk bangunan budaya megalitikum asli lokal dengan puncaknya berupa altar dan kemuncak. 

Foto Sitinggil Koleksi KITLV Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies, Published Between 1941 and 1953. 

Pada kisaran tahun 1870-an, J.A.B. Wiselius, seorang controleur Jawa dan Madura, mencatat dan melapor ke Pemerintah Residence dan Pusat mengenai keberadaan suku atau komunitas Modo di wilayah District Lengkir Afdelling Lamongan yang selalu mengkaitkan nama Modo dan beberapa tempat kuno di sekitarnya dengan tokoh Mahapatih Gajah Mada. 

Foto Sitinggil Tahun 2017 Koleksi Pribadi Penulis Blog

Laporan Wiselius tersebut merujuk pada cerita tutur/folklore yang berkembang di sana. Menurut cerita lokal masyarakat Modo disebutkan ada banyak tempat-tempat kuno dan petilasan di sekitar wilayah Modo dan Ngimbang yang berkaitkan dengan Gajah Mada, seperti situs megalitik Sitinggil di Modo dan Makam Dewi Andong Sari (makam ibunda Gajah Mada) di Gunung Ratu, Ngimbang.

Menurut cerita tutur, dahulu sewaktu Gajah Mada masih kecil sering melihat iring-iringan pasukan kerajaan Majapahit dari atas bangunan punden berundak Sitinggil, ketika sedang menggembala kerbau. Situs megalitik Sitinggil posisinya memang cukup tinggi, karena itu Joko Modo (pemuda dari Modo, nama Gajah Mada sewaktu masih kecil) bersama teman-temannya selalu memantau kerbau-kerbau peliharaan mereka dari atasnya. 

Folklore mengenai Gajah Mada tersebut tentunya bukanlah cerita baru atau Hoax hasil bualan orang jaman sekarang. Cerita tutur tersebut sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu, dan secara turun temurun terus dituturkan dari generasi ke generasi. Perlu untuk diketahui bahwa baik cerita tutur/folklore maupun data tekstual (prasasti atau susastra) sama-sama merupakan sumber sejarah.  

Jumat, 06 September 2019

DE RIVIER VAN SOLO, IN HET DISTRICT VAN LAMONGAN - EILD JAVA

Gezicht op de rivier de Solo, op de grens van het district Lamongan. Op het middenplan de slingerende rivier, bevaren door vissersscheepjes met bamboe latijnzeil en met begroeide en bebouwde oevers op de achtergrond. Op de voorgrond links een inheemse regent met gevolg en (vermoedelijk) Ver Huell. (Sumber: http://maritiemdigitaal.nl/index.cfm?event=search.getdetail&id=100161263

Lukisan Bengawan Solo di wilayah Lamongan ini menggambarkan keindahan pemandangan Bengawan Solo waktu itu. Di dalam sungai yang bentuknya digambarkan berkelok-kelok ini terlihat beberapa nelayan sedang berlayar mengarungi arusnya dengan menggunakan perahu kecil dan sampan bambu. Sungai terpanjang di pulau Jawa ini juga tampak sejuk karena di sepanjang tepi sungainya ditumbuhi banyak tanaman dan pepohonan. 

Dalam lukisan tersebut digambarkan pula penguasa setempat (Bupati) beserta para pengawalnya, dan (mungkin) Ver Huell sedang berdiri di pinggir sungai. Lukisan karya Ver Huell ini dibuat sekitar tahun 1820-1835, dan sekarang disimpan di Maritiem Museum Rotterdam - Belanda.

Lukisan Bengawan Solo di wilayah Lamongan Karya Ver Huell 

Seperti diketahui bahwa Lamongan dianugerahi dua sungai besar yang membujur dari Barat ke Timur. Kedua sungai itu yakni, Bengawan Solo beserta anak sungainya (Bengawan Njero) yang membelah bagian Tengah dan Utara Lamongan, dan Sungai/Kali Lamong yang membujur di wilayah Selatan. Kedua sungai tersebut menjadi urat nadi perekonomian pada zaman dulu, di saat moda transportasi masyarakat masih bergantung pada transportasi air (perahu/kapal), dan sungai sebagai jalur utamanya. Jadi, pada masa itu sungai menjadi satu-satunya penghubung sosial-budaya dan ekonomi masyarakat, mengingat masih sulitnya transportasi darat. 

Berdasarkan sumber data tekstual, nama Bengawan Solo beserta desa-desa di tepian sungainya telah disebut dalam Prasasti Canggu atau Ferry Charter 1280 Çaka/1358 Masehi (07 Juli 1358). Prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Hayam Wuruk (Çrĩ Rãjasanagara) tersebut menyebut puluhan desa atau deretan desa (Pradesa) di sepanjang tepi bengawan (Naditira), yakni Bengawan Solo dan Sungai Brantas beserta anak-anak sungainya, yang ditetapkan sebagai desa perdikan (sima) atau mendapat anugerah status istimewa (sima) berkat jasanya dalam penyeberangan sungai (penambangan).  

Berikut nama-nama desa di Lamongan yang berstatus Naditira Pradesa berdasarkan Prasasti Canggu/Ferry Charter (1280 Çaka/1358 M) [sumber: Muhammad Yamin, Tatanegara Majapahit - Parwa II, hlm. 99] :
"...muwaḥ prakãraning naditira pradeça sthananing anãmbangi i maḍantĕn . i waringin wok . i bajrapura . i sambo . i jerebeng . i pabulangan . i balawi . i luwayu . i katapang . i pagaran . i kamudi . i parijik . i parung . i pasiwuran . i kĕḍal . i bhangkal . i wiḍang..."

Selasa, 11 Juni 2019

THE HISTORY OF BANI WONGSO DASMADI

Sebuah dinasti atau wangsa atau trah itu ada dan terlahir melalui proses panjang kesejarahan dari pendahulunya atau leluhurnya. Demikian halnya dengan trah Wongso Dasmadi, sebuah klen yang sudah sampai pada keturunan ke-4 (canggah) ini, awal mulanya berasal dari pernikahan dua anak manusia (mbah buyut saya), yakni mbah Wongso Dasmadi dengan mbah Suwarti. Kini, trah yang telah melahirkan silsilah keluarga yang panjang ini, tercatat memiliki daftar nama 100 orang lebih, baik yang masih hidup atau yang sudah meninggal, yang terdiri dari: Keturunan pertama (anak); Keturunan kedua (cucu); Keturunan ketiga (cicit); dan Keturunan keempat (canggah).

Ketika menghadiri acara arisan keluarga besar, seringkali kita baru menyadari banyaknya jumlah sanak saudara yang kita miliki. Namun, tidak sedikit orang yang malah tidak mengenali anggota keluarga besarnya sendiri. Penyebabnya pun bermacam-macam, dari akibat tidak pernah bertemu karena terpisah jarak, atau karena sejak awal memang tidak pernah diperkenalkan oleh orang tua mereka. Maka dari itu, di Jawa ada istilah “Ojo Nganti Kepaten Obor”. Dalam budaya Jawa, ungkapan ini lebih banyak disampaikan dalam konteks keluarga khususnya dalam hal silsilah keluarga. 

Jika seseorang sudah 'Kepaten Obor', maka ia adalah orang yang tidak mengetahui siapa keluarganya/tidak mengenal sanak familinya. Di situlah pentingnya pemahaman tentang silsilah keluarga, khususnya bagi generasi muda dalam wangsa atau dinasti atau trah. Pasalnya, saat ini semakin banyak anak muda yang sudah "putus pertalian" dengan generasi yang lebih tua atau saudara jauhnya. Jadi, jargon “Ojo Nganti Kepaten Obor” diungkapkan dengan maksud untuk membangun ikatan tali silaturahmi. 

Substansi silaturahmi secara jelas ditegaskan dalam ayat Al Quran. Dasar silaturahmi dapat kita temukan dalam surat An-Nisa' ayat 1, dengan penegasan kalimat arham yang menjadi kata dasar silaturahmi. Demikianlah Firman Allah SWT dalam QS. An-Nisa' ayat 1:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

"Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan istrinya, dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan, bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu."

Hadis Nabi juga mengajarkan tentang pentingnya silaturahmi, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ''Maukah kalian aku tunjukkan amal yang lebih besar pahalanya dari shalat dan puasa?. Yaitu engkau damaikan orang-orang yang bertengkar, dan barang siapa yang ingin panjang usia dan banyak rezeki, sambungkanlah tali silaturahmi.'' (HR. Bukhâri dan Muslim). Jadi jelas, silaturahmi dan halal bihalal adalah bagian dari perintah agama.

Perintah untuk ber-silaturahmi dan ber-halal bihalal sesuai Quran dan Hadis nampaknya telah diaplikasikan dalam klen Wongso Dasmadi. Trah yang selalu konsisten dalam urusan silaturahmi ini, nampaknya sadar akan pentingnya pemahaman tentang silsilah keluarga. Maka dari itu, setiap tahunnya keluarga besar Bani Wongso Dasmadi selalu mengadakan acara silaturahmi yang diselenggarakan pada setiap H + 2 Idul Fitri. Dalam kesempatan ini, saya ingin sedikit berbagi informasi mengenai history atau sejarah awal mula lahirnya trah Wongso Djasmadi beserta silsilah keluarganya. Mohon maaf dan mohon dikoreksi kalau ada yang salah!. Maklum saja, disamping penulis merupakan generasi ketiga (cicit), disini penulis juga hanya manusia biasa yang tak sempurna dan kadang salah.

Keluarga Besar Bani Wongso Dasmadi 

|| Sejarah Lahirnya Trah Wongso Dasmadi ||

Awal mula lahirnya trah Wongso Dasmadi, bermula dari pernikahan dua sejoli (mbah buyut saya), yakni mbah Wongso Dasmadi - asal Gresik, dengan mbah Suwarti - asal Lamongan. Mereka berdua merupakan pasangan duda dengan janda, dan sama-sama sudah memiliki keturunan dari pernikahan sebelumnya. Mbah Wongso Dasmadi membawa 1 orang anak laki-laki bernama Kastawi, sedangkan mbah Suwarti membawa 2 orang anak perempuan yang bernama Muntiani dan Isa. Dari pernikahan mbah Wongso Dasmadi dengan mbah Suwarti sendiri dikaruniai 4 orang anak (2 anak laki-laki dan 2 anak perempuan), mereka adalah: Kasmani (anak pertama); Kasman (anak kedua); Masir (anak ketiga); dan Martiah (anak keempat/terakhir).

Berdasarkan riwayat hidupnya, mbah Wongso Dasmadi termasuk tokoh masyarakat yang cukup disegani. Waktu itu, pria tampan berperawakan tinggi besar ini ditunjuk sebagai ketua sinoman di lingkungan Kalibumbung dan Tlogoanyar. Dahulu, di rumah beliau terdapat bangunan 'Besali' yang menghadap ke Timur, dan di depannya ditumbuhi 6 pohon mangga, ada mangga jenis manalagi dan juga mangga jenis podang nanas. Jadi, bisa dibayangkan betapa rindangnya bangunan Besali beliau. Perlu untuk diketahui bahwa 'Besali' merupakan bangunan atau bagian dari rumah yang digunakan untuk bekerja, bentuknya serupa Gasebo. 

Beliau tutup usia tepat 1 hari sebelum pelaksanaan Pemilu pertama di Indonesia. Waktu itu, tahapan pemilu ada 2 tahap. Tahap pertama adalah pemilu untuk memilih anggota DPR yang diselenggarakan pada tanggal 29 September 1955. Dan, tahap kedua adalah pemilu untuk memilih anggota Konstituante, tahap ini diselenggarakan pada tanggal 15 Desember 1955. Jika mendengar penuturan dari pak dhe Kastari yang menyebut tanggal kematian mbah Wongso Dasmadi adalah tanggal belasan. Jadi, bisa disimpulkan bahwa mbah Wongso Dasmadi tutup usia pada tanggal 14 Desember 1955. Tepat 1 hari sebelum pelaksanaan pemilu tahap kedua tahun 1955.


Sedangkan untuk mbah Suwarti, menurut cerita, beliau merupakan sosok perempuan pekerja keras. Perempuan cantik berperawakan sedang ini (tidak tinggi juga tidak pendek), mau bekerja untuk membantu suami dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Perempuan yang berprofesi sebagai tukang pijat panggilan ini, suatu hari mengalami kebutaan akibat komplikasi pada kedua matanya, setelah menjalani proses persalinan anak terakhirnya. 

Perlu untuk diketahui bahwa saat proses persalinan normal, ibu akan berusaha untuk mengejan berulang kali demi mendorong kelahiran bayinya. Hal ini ternyata bisa memicu tekanan berlebihan pada mata dan akhirnya memicu retina robek. Hal inilah yang diduga menjadi penyebab kebutaan pada kedua mata mbah Suwarti. Salutnya, meskipun kondisinya buta, tapi beliau tetap mau memenuhi panggilan jika ada orang yang membutuhkan jasanya (pijat). Beliau akhirnya tutup usia akibat sakit diare setelah menjalankan ibadah puasa. Mbah Suwarti meninggal dunia pada saat anak terakhirnya, yakni Martiah, menikah dengan suaminya yang kedua, Kemat.

|| Silsilah Keluarga Besar Bani Wongso Dasmadi ||

Seperti diketahui bahwa baik mbah Wongso Dasmadi maupun mbah Suwarti sama-sama sudah memiliki keturunan dari pernikahan sebelumnya. Jadi, keduanya sama-sama membawa anak dalam rumah tangga baru mereka.

|| Keturunan Wongso Dasmadi Dan Suwarti Dari Pernikahan Sebelumnya ||

Dari pernikahan sebelumnya, mbah Wongso Dasmadi memiliki seorang anak laki-laki bernama Kastawi. Menurut cerita, mbah Kastawi dulunya merupakan seorang pejuang kemerdekaan yang tergabung dalam Peta (Pembela Tanah Air). Karena beliau seorang prajurit, maka setiap tanggal 17 Agustus ketika memperingati hari kemerdekaan RI, rumah mbah Wongso Dasmadi selalu dibersihkan orang sekampung. Dalam hal rumah tangga, Kastawi tercatat menikah hingga tiga kali. Pernikahannya yang terakhir dengan Ngatiyu yang berasal dari Plumpang. Mereka dikaruniai 2 orang anak, 1 anak perempuan dan 1 anak laki-laki. Anak pertama bernama Muntiaya (dhe Ya), dan anak yang kedua bernama dhe Rus. Muntiaya menikah dan dikaruniai 2 orang anak, dan sekarang mereka berdomisili di Plumpang.

Sedangkan, mbah Suwarti dari pernikahan sebelumnya mempunyai 2 orang anak, anak pertama bernama Muntiani (mbah Mun) dan anak yang kedua bernama Isa (mbah Sa). Muntiani tidak mempunyai keturunan, sedangkan Isa dikaruniai 2 orang anak, anak pertama bernama Ali dan anak yang kedua bernama Tekan. Dhe Ali menikah dengan dhe Sih/Markasih dan dikaruniai 3 orang anak, yaitu: Bambang; Ely; dan Wiwik. Bambang dikaruniai 1 orang anak, Ely dikaruniai 3 orang anak, dan Wiwik dikaruniai 2 orang anak. Dan, untuk Tekan sendiri tidak mempunyai keturunan.

Keluarga Kasman Wongso

|| Keturunan Wongso Dasmadi Dari Pernikahan Dengan Suwarti ||

Pernikahan mbah Wongso Dasmadi dengan mbah Suwarti dikaruniai 4 orang anak. Anak pertama bernama Kasmani (perempuan), anak kedua bernama Kasman (laki-laki), anak ketiga bernama Masir (laki-laki), dan anak keempat/terakhir bernama Martiah (perempuan).

Anak pertama Kasmani (mbah Ni) menikah dengan Minto (mbah Minto) dan dikaruniai 6 orang anak, yaitu: Kasanan; Kastari; Matkiroman; Ana Arista; Anik Arista; dan Ayus. Dhe Kasanan menikah dengan dhe Sri dan dikaruniai 2 orang anak, anak pertama bernama Koko (dikaruniai 2 orang anak), dan anak kedua bernama Ayu (dikaruniai 2 orang anak). Dhe Kastari menikah dengan dhe Nik dan dikaruniai 3 orang anak, anak pertama bernama Totok (dikaruniai 1 orang anak), anak kedua bernama Bagus (dikaruniai 2 orang anak), dan anak ketiga bernama Tika (dikaruniai 1 orang anak).

Dhe Matkiroman menikah dengan dhe Tin dan dikaruniai 2 orang anak, anak pertama bernama Wawan (dikaruniai 2 orang anak), dan anak kedua bernama Diky. Dhe Ana menikah dengan dhe Huda dan dikaruniai 1 orang anak bernama Hendrik. Dhe Anik menikah dengan dhe Heru dan dikaruniai 2 orang anak, anak pertama bernama Boby (dikaruniai 2 orang anak), dan anak kedua bernama Kiky (dikaruniai 1 orang anak). Dhe Ayus menikah dengan dhe Sri dan dikaruniai 2 orang anak, anak pertama bernama Dona (dikaruniai 2 orang anak), dan anak kedua bernama Yohan (dikaruniai 1 orang anak).

Keluarga Mulyana Kasman Wongso

Anak kedua Kasman (mbah Man) menikah dengan Asrifa (mbah Apa) dan dikaruniai 13 orang anak, yaitu: Kastin; Kastona; Munanti; Ripan; Siti; Afifah; Mulyana; Mulyono; Mulyanto; Kismiati; Suryani; Edi Santoso; dan Muhammad Ridwan. Dhe Tin/Kastin menikah dengan dhe Supeno dan dikaruniai 4 orang anak, anak pertama bernama Heru (dikaruniai 2 orang anak), anak kedua bernama Yuli (dikaruniai 2 orang anak), anak ketiga bernama Budi (dikaruniai 2 orang anak), dan anak keempat bernama Lena. Dhe Kastona meninggal dunia. Dhe Mun/Munanti menikah dengan dhe Samiun dan dikaruniai 3 orang anak, anak pertama bernama Samiyati (dikaruniai 2 orang anak), anak kedua bernama Munandar (dikaruniai 1 orang anak), dan anak ketiga bernama Munaji. Dhe Ripan meninggal dunia. Dhe Siti meninggal dunia. Dhe Afifah meninggal dunia.

Mulyana (ibu saya/ibu penulis) menikah dengan Siswo Hadi (bapak saya/bapak penulis) dan dikaruniai 5 orang anak, anak pertama bernama Cici, anak kedua bernama Yenny (dikaruniai 2 orang anak), anak ketiga bernama Rinny (dikaruniai 1 orang anak), anak keempat bernama Denny (penulis), dan anak kelima bernama Anggoro (dikaruniai 2 orang anak). Lek Yono/Mulyono menikah dengan bu Lek Bani dan dikaruniai 2 orang anak, anak pertama bernama Bima, dan anak kedua bernama Ronald. Lek Anto/Mulyanto belum menikah. Mama Kikis/Kismiati menikah dengan Om Tono/Martono dan dikaruniai 1 orang anak bernama Putri. Bu Lek Suryani meninggal dunia. Lek Edi Santoso menikah dengan bu Lek Nyomik dan dikaruniai 3 orang anak, anak pertama bernama Dina, anak kedua bernama Daffa, dan anak ketiga bernama Sefrin. Lek Duwan/Muhammad Ridwan menikah dengan bu Lek Ochid dan dikaruniai 3 orang anak, anak pertama bernama Sekar, anak kedua bernama Arya, dan anak ketiga bernama Richies.


Anak ketiga Masir (mbah Masir) menikah dengan Mujiatun (mbah Tun) dan dikaruniai 1 orang anak bernama Mujiono (meninggal dunia). Menurut cerita, Masir bertemu dengan Mujiatun di Malang ketika keduanya bekerja di pabrik sandal. Mujiatun adalah putri dari mbah Dipo asal Polaman - Singosari. Dari informasi yang saya dapatkan, keluarga besar Mujiatun aslinya berasal dari Nganjuk. 

Dan, anak keempat Martiah (mbah Tiah) tercatat menikah hingga 3 kali, yang pertama dengan Pakis dikaruniai 1 orang anak (meninggal dunia), yang kedua dengan Kemat, dan yang ketiga menikah dengan Aji mengadopsi 1 orang anak bernama Agus (meninggal dunia).

Membuat buku silsilah keluarga memang terbilang tidak mudah, akan tetapi saat ini sudah ada aplikasi digital genogram yang mempermudah pembuatan pohon keluarga. Jadi, mari kita saling mengenal keluarga besar kita sebelum terlambat!

FOLKLOR CANE BUKTI AIRLANGGA DAN GARUḌAMUKHA BERJAYA DI BUMI JANGGALA

Cerita tutur merupakan salah satu bentuk kearifan lokal. Tradisi menuturkan peristiwa sejarah sudah lama diperkenalkan oleh leluhur kita seb...