Rabu, 03 Juni 2020

REKAM SEJARAH KERAJAAN JAṄGALA

Sejarah kerajaan Jaṅgala diawali dengan perpindahan pusat kekuasaan Medang ke Jawa Timur dengan Pu Sindok sebagai rajanya. Sindok yang naik takhta karena pernikahannya dengan putri dari Rakryan Bawang (Raja Wawa), yakni Çrĩ Prameswari Çrĩwardhani Pu Kêbi, mempunyai anak perempuan bernama Isanatunggawijaya. Kemudian, Isanatunggawijaya menggantikan posisi Sindok sebagai raja. Isanatunggawijaya menikah dengan Lokapala, dan mempunyai anak bernama Makutawangsawardhana, yang kelak menggantikan ibunya memegang tampuk takhta kerajaan Medang.

Makutawangsawardhana mempunyai seorang putri bernama Mahendradatta/Gunapriya Dharmapatni yang menikah dengan raja Udayana (Bedahulu - Bali), dan melahirkan Airlangga. Setelah pemerintahan Makuttawangsawardhana, takhta kerajaan Medang selanjutnya diwariskan kepada putranya, yakni Çrĩ Dharmmawaṅça Tguh Anantawikramattunggadewa. Çrĩ Dharmmawaṅça mempunyai seorang putri yang kemudian dinikahkan dengan keponakannya sendiri, yakni Airlangga. Dan, takhta kerajaan Medang-pun selanjutnya dipegang oleh Airlangga. 

Airlangga kemudian membagi kerajaan Medang menjadi dua, yakni Jaṅgala dan Paṅjalu. Takhta kerajaan Jaṅgala diberikan kepada anak keturunan Airlangga dengan permaisuri (trah Airlangga). Sedangkan, takhta kerajaan Paṅjalu diberikan kepada putra dari Çrĩ Samarawijaya Dharmmasuparṇacaraṇa Tguh Uttunggadewa, yaitu Çri Mahãrãjyetêndrakara (Palade[wa]) Wuryya Wiryya Parakrama Bhakta, yang mengeluarkan prasasti Mãtaji 973 Çaka/1051 M. Çrĩ Samarawijaya merupakan anak dari Çrĩ Dharmmawaṅça Tguh Anantawikramattunggadewa. Jadi, Çrĩ Samarawijaya adalah adik dari permaisuri Airlangga atau adik ipar sekaligus sepupu Airlangga. 

Prasasti Tugu, Terletak di Dusun Tugu, Desa Tugu, Kecamatan Mantup - Lamongan (ROD, Register 1917) 

Kerajaan Jaṅgala sendiri mempunyai 3 orang raja. Berikut adalah nama-nama Raja Jaṅgala:
1. Çrĩ Mahãrãja Rakai Halu Mapañji Garasakan. Prasasti:
- Prasasti Malênga 974 Çaka/1052 M
- Prasasti Garamãn 975 Çaka/1053 M (Dusun Graman, Desa Sambangrejo, Kec Modo - Lamongan)
- Prasasti Kambang Putih (t.t / tanpa tahun)
- Prasasti Truneng/Turun Hyang B (verso) 976 Çaka/1054 M

2. Çrĩ Mahãrãja Mapañji Alañjung Ahyês. Prasasti:
- Prasasti Bañjaran 975 Çaka/1053 M

3. Çrĩ Mahãrãja Rake Halu Pu Juru Çri Samarotsaha Karnnakesana Ratnaçangkha Kirtisingha Jayantaka Uttunggadewa. Prasasti:
- Prasasti Sumengka 981 Çaka/1059 M 

Pada semua prasasti yang dikeluarkan oleh ke tiga raja Jaṅgala tersebut terdapat kalimat atau Lāñchana Garuḍamukha (Lambang/Cap Kerajaan Airlangga). Menurut Boechari, kenyataan ini menunjukan adanya hubungan langsung dengan raja Airlangga.

Setelah pemerintahan Çrĩ Samarotsaha, kerajaan Jaṅgala tidak muncul lagi dalam sejarah klasik. Andai saja seluruh prasasti batu yang tersebar di kabupaten Lamongan kondisinya tidak rusak/aus dan bisa dibaca, tentunya riwayat perjalanan kerajaan Jaṅgala akan bisa dibaca dengan lebih jelas dan lebih lengkap lagi.

Garuḍamukha Lāñchana

Setelah Kerajaan Jaṅgala lama menghilang dari Dunia Persilatan, kemudian muncul nama Çri Harsawijaya, beliau adalah raja di Bhūmi Jaṅgala (Kerajaan vasal/bawahan) di masa Kerajaan Tumapel/Singhasari. Menurut prasasti Mula-Malurung (1177 Çaka/1255 M) lempeng VI verso baris ke 6, terberitakan bahwa Çri Harsawijaya, kapernah pahulunan atau keponakan dari Narāryya Sminiŋrāt (Bhatara Wisnuwardhana, raja ke-3 Singhasari), ditempatkan di singgasana ratna di Bhūmi Jaṅgala. 

Çri Harsawijaya sebagai penguasa di Bhūmi Jaṅgala juga terberitakan dalam prasasti Balawi (Blawirejo, Kedungpring, Lamongan) yang dikeluarkan pada tanggal 15 Paro Gelap (Krsnapaksa), bulan Waisaka tahun 1227 Çaka, atau bertepatan dengan tanggal 24 Mei 1305 M. Prasasti Balawi memberitakan bahwa keswatantraan Balawi sebenarnya telah diberikan sejak masa pemerintahan Çri Harsawijaya (raja di Bhūmi Jaṅgala), namun belum dikukuhkan dengan prasasti. Posisi Çri Harsawijaya sebagai raja di Bhūmi Jaṅgala tentunya sesuai dengan letak Desa Balawi (Blawirejo, Kedungpring, Lamongan), yang mana wilayah tersebut merupakan wilayah Bhūmi Jaṅgala.

Menurut prasasti Mula-Malurung lempeng VI verso baris ke 6, Çri Harsawijaya merupakan keponakan dari Narāryya Sminiŋrāt. Sedangkan, menurut kakawin Nãgarakṛtãgama atau Deçawarṇana Pupuh 46 bait 2, Dyah Lembu Tal adalah keponakan dari Narāryya Sminiŋrāt. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa Dyah Lembu Tal dan Çri Harsawijaya sebenarnya merupakan orang yang sama. 

Dyah Lembu Tal atau Çri Harsawijaya adalah ayah dari Raden Wijaya (Pendiri Majapahit), seperti yang terberitakan dalam Kakawin Nãgarakṛtãgama atau Deçawarṇana pupuh 47 bait 1: "..dyah lmbu tal sira maputra ri saɳ narendra.." , "..Dyah Lembu Tal itulah bapak Baginda Nata..". Nama Çri Harsawijaya kemudian menjadi nama Dyah Wijaya atau Raden Wijaya. Jadi, Raden Wijaya punya nama yang 'Nunggak Semi' dengan ayahnya.

Dan, akhirnya dapat disimpulkan bahwa kerajaan Majapahit merupakan trah kerajaan Jaṅgala. 

JAṄGALA JAYATI ✊✊

Senin, 01 Juni 2020

KISAH PERLAWANAN PANJI SURENGRANA (BUPATI LAMONGAN 1707-1723) ATAS MATARAM

Kisah perlawanan Panji Surengrana (Bupati Lamongan 1707-1723) atas Mataram ini terberitakan dalam Babad Tanah Jawi yang dengan cukup detailnya mengulas kiprah dari para keturunan Kyai Ageng Brondong atau trah dari Pangeran Lanang Dangiran mulai dari kedua anaknya, yaitu Hanggawangsa (Jangrana) dan Hanggajaya, hingga cucu-cucunya, yakni Arya Jaya Puspita, Panji Surengrana, Panji Kerta Yuda, dan Jaka Tangkeban. Seperti diketahui bahwa keturunan dari Kyai Ageng Brondong (Brondong - Lamongan) banyak yang menjabat sebagai Bupati di berbagai daerah di Jawa Timur termasuk di Lamongan. 

Pada pengangkatan Susuhunan Pakubuwana I, Surengrana diberikan gelar Panji dengan jabatan sebagai Tumenggung yang berkuasa atas wilayah Lamongan. Namun, pemberontakan Surabaya atas Mataram pada masa Amangkurat IV, yang di picu oleh pembunuhan Jangrana II oleh algojo Mataram atas permintaan VOC, telah menghantarkan Tumenggung Panji Surengrana (Lamongan) dan Adipati Arya Jaya Puspita (Surabaya, kakak Surengrana) dalam perang campuh yang berkepanjangan melawan Mataram. 

Perayaan pada upacara pelantikan bupati di Lamongan, sekitar tahun 1910 (Sumber: KITLV).

Perang antara koalisi Lamongan - Surabaya melawan Mataram akhirnya berakhir dengan meninggalnya Arya Jaya Puspita pada 1721, serta penangkapan Panji Surengrana yang kemudian dibuang ke Colombo - Srilanka bersama dengan keturunan Surapati pada 1723. Pada kisaran tahun itu, Lamongan dikisahkan menjadi Karang Abang, karena kota ini dibakar habis sama Mataram. Kemudian, oleh Amangkurat IV jabatan Bupati Lamongan selanjutnya diserahkan kepada Rangga Permana.

BERIKUT PETIKAN KISAH KETERLIBATAN PANJI SURENGRANA (BUPATI LAMONGAN 1707-1723) DALAM PERANG SURABAYA MENURUT BABAD TANAH JAWI:

Pada waktu itu Arya Jaya Puspita sudah menggantikan kakaknya menjadi adipati di Surabaya. Beliau menghadap, sowan ke Karta Sura hanya sekali bertepatan bulan Mulud. Bala Surabaya dikerahkan dibawa semua lengkap dengan senjata perangnya, jumlahnya kurang lebih lima ratus orang.

Kedua adiknya ikut juga, yaitu Panji Karta Yuda dan Panji Surengrana beserta dengan balanya masing-masing seribu orang. Sang Nata ketika melihat Ki Arya Puspita bersama balanya siap dengan pesenjataan berperang begitu senang hatinya. Beliau lalu mengundang semua orang se-negara Kartasura supaya melapisi ukiran kerisnya dengan emas atau selaka. Sudah terjadi dan ternyata begitu bagus. Mulai saat itulah adanya ukir berlapis. 

Ki Jaya Puspita ada di Karta Sura tidak lama, segera kembali ke Surabaya dan tidak mau sowan lagi, berniat makar. Sang Prabu lalu utus Ki Tumenggung Sura Brata bersama Ngabei Wira Menggala untuk memanggil Ki Jaya Puspita di Surabaya. Kedua utusan di Surabaya setengah bulan, tetapi Ki Jaya Puspita selalu menunda saja. Ki Suma Brata dan Ki Wira Menggala mengetahui jika dianggap enteng saja, lalu minta pamit untuk kembali ke Kartasura serta melaporkan kepada sang Prabu.

Peserta parade Senennan (perlombaan setiap Minggu) di Jawa, mungkin di Lamongan, sekitar tahun 1910 (Sumber: KITLV).

Sang Nata segera berkirim surat kepada Kumendur di Semarang memberi tahu bahwa Ki Jaya Puspita mogok, berniat makar. Utusan pembawa surat segera berangkat, sudah ketemu Kumendur. Tuan Kumendur setelah membawa surat sangat gugup, lalu berangkat ke Surabaya lewat laut. Adapun Ki Jaya Puspita sepeninggal Ki Suma Brata lalu memberi perintah kepada adiknya yang bernama Panji Surengrana, agar mulai menaklukkan Gresik. Panji Surengrana lalu berangkat bersama balanya orang Lamongan. Mereka lewat Giri terus ke Gresik lalu terjadi perang merebut benteng. Tetapi tidak berhasil, Panji Surengrana mundur ke Lamongan. 

Tibalah tuan Kumendur di Surabaya bertemu dengan sang Adipati Jaya Puspita, Kumendur bertanya  tentang Panji Surengrana dalam menaklukkan Gresik, Jawab Ki Jaya puspita, berpura-pura siap untuk memarahi adiknya. Kumendur bertanya lagi sebab-sebab Ki Jaya Puspita tidak mau sowan ke Kartasura. Lalu, dijawab bahwa beliau akan sowan, Kumendur setelah mendengar jawaban Ki Jaya Puspita demikian serta sikapnya yang begitu menghormati jadi tidak enak hatinya, la lalu memberi perintah membuat benteng di Gresik. Setelah selesai, Kumendur lalu kembali ke Semarang.

Sepeninggal Tuan Kumendur, Panji Surengrana lalu kirim utusan minta bantuan ke negara Bali. Tidak lama kemudian bantuan datang sejumlah empat ratus orang di bawah pimpinan Dewa Kaloran. Lalu mengepung Gresik. Orang-orang Gresik geger, lari saling bertubrukan sebab tidak mengira kalau ada musuh datang di waktu malam. Harta kekayaannya habis dijarah rayah. Setelah Gresik takluk, orang-orang Bali kembali ke Bali. Mereka berjanji besok akan kembali. Panji Surengrana juga memberi penghargaan harta kekayaan yang dipersembahkan kepada Rajanya.

Selanjutnya Ki Jaya Puspita memerintahkan kedua adiknya berdua agar mulai menaklukkan orang manca-negari dan orang pesisir. Kedua saudara berdua itu lalu membagi-bagi perintah. Panji Karta Yuda mengerahkan bala seribu orang memukul negera Japan. Sudah berhasil. Lalu diteruskan ke Wira Saba. Bupati sepi berkumpul di Kediri, berniat menghadapi perang. Di Wira Saba seorang bupati sudah diangkat oleh Panji Karta Yuda. Panji Karta Yuda bersama balanya lalu ke Kediri. Disitu disambut perang. Orang Kediri kalah, bupatinya lari ke Karta Sura.

Jamuan Makan Siang bersama Gouverneur-General D. Fock, Algemeen Secretaris Ch.JJM Welter, Residen van Soerabaja WP Hillen, Regent van Lamongan Raden Ajoe, Mejuffrouw Tellegen, Mevrouw Kroesen, dan 3 ajudan van de Gouverneur-General, bertempat di kediaman Regent van Lamongan Raden Ajoe, tahun 1922 (Sumber: KITLV). 

Sementara itu Panji Surengrana mengerahkan bala seribu memukul Sidayu. Mereka disambut perang ramai sekali. Banyak yang mati. Sidayu berhasil ditaklukkan. Panji Surengrana lalu berputar memukul Jipang. Juga sudah berhasil ditaklukkan. Bupati lari, sebab serangan mendadak itu. Panji Surengrana kembali menggempur Tuban. Sudah kedahulan Panji Surengrana beserta balanya. Bupati Tuban lari ke Karta Sura.

Pada suatu hari sang Prabu di Karta Sura sedang miyos sinewaka. Para bupati pesisir, manca-negari di Kedu, Banyu Mas lengkap semua. Bupati dalam, serta para putra sentana juga sudah lengkap. Di pagelaran penuh sesak tidak ada selanya. Ki Patih Cakra Jaya melaporkan bahwa Ki Adipati Jaya Puspita benar-benar berbuat makar. Beliau sudah menaklukkan tanah pesisir dan manca-negari. Japan, Wira Saba, Kediri Jipang sudah takluk. Apalagi di Sidayu dan Tuban, kedua-duanya sudah dirusak oleh orang Surabaya. Sang Nata berbicara lantang, "Cakra Jaya, segera laporkan kepada Tuan Kumendur di Semarang, serta mintalah bantuan serdadu Kompeni. Dan kepadamu berangkatlah, kerahkan orang pesisir semua, lewatlah Semarang untuk minta bantuan bala serdadu Kompeni. Dan perintahkan kepada Tumenggung Karta Negara untuk berangkat ke Surabaya lewat Jaya Raga untuk memimpin bala manca-negari". 

Ki Patih menyatakan kesediaannya. Sang Prabu masuk ke kedaton. Ki Patih dan Ki Tumenggung Karta Negara lalu bersiap-siaga serta sudah mengirim surat ke Semarang. Setelah siap semuanya, berangkatlah Ki Patih ke Semarang bersama balanya. Mereka berhenti di sana menunggu bantuan serdadu Kompeni dari Betawi. Sementara itu Ki Tumenggung Karta negara juga sudah berangkat lewat Jagaraga, mengerahkkan bala manca-negari semua. Cuma bupati Grobogan dipisah ikut barisannya Ki Patih. Bupatinya bernama Surya Winata dan Sasra Winata adalah cucu Panembahan Cakraningrat almarhum. Dahulu pernah manjadi bupati di Madura lalu dipindah ke Grobongan. Gerakan pasukan Karta Negara sudah sampai di dusun Maja Ranu. Bala manca-negari sudah berkumpul. Bupati Jipang sudah pula menjadi satu di situ. Begitu besar bala yang ada lengkap dengan persenjataannya.

Lalu terjadilah peperangan dengan Panji Surengrana, banyak yang tewas, lalu mundur beserta balanya ke Lamongan. Kota Jipang sudah diduduki Ki Tumenggung Karta Negara. Bala sumbangan dari Bali waktu itu datang lagi ada di Gresik, dipimpin oleh Dewa Kaloran membawa tiga bupati, yaitu Dewa Saka, Dewa Sade, Dewa Bagus Bala. Pasukan Bali ada tujuh ratus orang. Dewa Kaloran sudah bertemu dengan Panji Surengrana. Mereka akan menggempur Jipang lagi.

Di Gresik ada seorang saudagar kaya-raya, banyak balanya bernama Juragan Bali. Tampangnya gagah perkasa, perangainya tidak sabaran, memaksakan kehendak, pernah perang di laut. Ki Juragan itu dijadikan prajurit pengamuk di dalam perang oleh Panji Surengrana. Ki Juragan memiliki banyak jurus andalan. Anak-istrinya ditempatkan di Surabaya sebagai jaminan supaya Ki Juragan tidak tinggal gelanggang, curi lari waktu perang. 

Ki Surengrana lalu berangkat beserta balanya untuk merebut Jipang. Beliau membawa seratus orang Bali. Ki Juragan beserta bala budak-belian ditempatkan di ujung barisan. Setibanya di Jipang terjadilah peperangan ramai sekali dengan Ki Tumenggung Karta Negara serta manca-negari. Korban berjatuhan dari kedua belah pihak. Ki Tumenggung Karta Negara beserta sisa bala mancanegari berlari, berhenti di Dusun Brongkol sebelah Barat Jipang sebab diamuk Ki Juragan beserta balanya. Jipang sudah diduduki Panji Surengrana beserta balanya.

Lalu Ki Panji Surengrana mendengar berita kalau Sidayu dan Tuban sudah direbut oleh bala pesisiran atas perintah Patih Cakra Jaya. Sekarang beliau masih di Semarang menunggu bantuan serdadu Kompeni dari Betawi. Panji Surengrana setelah mendengar berita itu sangat marah. Lalu perintah kepada Ki Juragan beserta balanya untuk menerjang musuhnya yang ada di Sidayu dan Tuban. Ki Juragan segera berangkat disertai bala dua ribu orang, orang Bali lima puluh. Gerakan prajuritnya sudah sampai di Sidayu, lalu terjadilah perang campuh dengan bala pesisir. Ki Juragan begitu bersemangat turun dari kudanya, ada di depan mengamuk beserta bala budak-belian. Banyak yang mati. Bala pesisir negeri melihat sepak-terjang amukan Ki Juragan dan orang Bali, lalu berlari ke Tuban menyusun barisan dan membangun benteng.

Tea Time bersama onder controleur, mungkin di Lamongan, tahun 1909 (Sumber: KITLV).

Sidayu sudah diduduki Ki Juragan dan bala dari Bali. Ki Juragan serta balanya mengejar musuhnya ke Tuban berniat menghancurkan benteng. Bala pesisir menyambutnya. Ki Tumenggung Tuban juga memiliki bala budak-belian sebanyak tujuh puluh orang. Mereka ini diadu untuk melawan perangnya Ki Juragan. Bala pesisir menyerbu dari samping kiri, dan samping kanan. Bala Ki Juragan banyak yang mati. Bahkan bala dari Bali yang berjumlah lima puluh itu sudah habis tewas semua. Ki Juragan beserta balanya diam-diam mengundurkan diri. Lalu utusan memberi tahu kepada Ki Panji Surengrana yang ada di Jipang atas keadaan di Tuban. Panji Surengrana setelah mendengar berita itu sangat marah. la segera berangkat dari Jipang beserta balanya untuk membantu Ki Juragan.

Begitu Jipang ditinggalkan Ki Panji Surengrana, maka kota Jipang diduduki lagi oleh Ki Tumenggung Karta Negara, serta mengerahkan bala manca-negari, Ki Tumenggung Karta Negara barisannya sudah besar. Adapun gerakan Panji Surengrana beserta balanya sudah sampai di Tuban lalu terjadi perang dengan Bupati Tuban serta bala pesisir. Panji Surengrana beserta balanya mengamuk. Bala Tuban banyak yang tewas lalu lari ke Lasem, mengumpulkan balanya yang sudah lari. Tuban sudah diduduki oleh Panji Surengrana. Lalu bantuan dari Patih Cakra Jaya datang di Lasem dipimpin Ki Adipati Citra di Jepara beserta balanya juga bersama Bupati Kudus, Demak, Pati, Juwana beserta balanya. Sudah berkumpul di Lasem. Barisan begitu besar. Lalu berangkat merebut Tuban.

Panji Surengrana dan balanya melarikan diri ke Paronggahan, sebab kebanjiran musuh besar. Tuban sudah direbut oleh bala pasisir. Sementara itu bala Kompeni dari Betawi sudah tiba di Semarang, jumlahnya tiga bregada. Terdiri dari macam-macam orang. Dari Belanda, Ambon, Ternate, Bugis, dan Makassar. Komandonya bernama Amral Brikman. Apalagi bala pesisir di sebelah barat Semarang juga sudah berkumpul di sana. Pada waktu itu Semarang begitu banyak orang dari berbagai daerah.

Setelah bala Kompeni istirahat, dua bregada diberangkatkan lewat laut dipimpin Kumendur Gobya di Semarang bersama Kapten Krasbun. Amral Brikman tinggal di Semarang bersama bala Kompeni satu bregada. Ki Patih Cakra Jaya ikut lewat di laut. Para bupati pesisir Tegal, Pekalongan, Kendal, Kali Wungu, Batang diperintah lewat darat. Begitu besar gerakan pasukan. Perjalanan Ki Patih dengan Kumendur singgah di Tuban menunggu bala yang lewat darat, serta mengumpulkan bala pesisir yang sudah ada di situ. Ki Patih lalu mengirimkan utusan ke Jipang, memanggil Ki Tumenggung Karta Negara dan orang mancanegari semua agar datang ke Surabaya. Tidak perlu melayani gerakan-gerakan kecil dari ulah Ki Sureng Rana dalam perjalanan. 

Hari datangnya di Surabaya dipastikan harus bersamaan dengan Ki Patih. Utusan segera berangkat. Sudah sampai di Jipang. Ki Tumenggung Kartanegara juga segera berangkat beserta balanya dari manca-negari. Di Jipang ditinggal bala secukupnya, dipimpin Ki Tumenggung Sura Wijaya. Perjalanan Ki Tumenggung dan balanya sudah sampai di Surabaya. Mereka mesanggrah dan mendirikan benteng di sebelah Selatan kota Surabaya, yaitu di desa Sepanjang. Balanya memenuhi sawah dan berjalan. Adapun Ki Patih Cakra Jaya dan Kumendur beserta serdadu Kompeni bersama datangnya di Surabaya menunju ke loji. Di situ bentengnya sudah dijaga serdadu Kompeni sejumlah empat puluh orang. Pada waktu itu sudah dicoba direbut oleh bala dari Surabaya, tetapi tidak berhasil. Kumendur lalu bertahan di situ lagi. 

Datangnya bala dari pesisir yang lewat darat jumlahnya tak terhitung. Lalu bertahan menjadi satu dengan Ki Patih Cakra Jaya. Banyaknya bala tumpah-ruah bagaikan samudra tanpa tepian, dalam keadaan siap-siaga. Serdadu Kompeni juga sudah mengarahkan mulut meriam ke arah luar benteng. Ki Patih Cakra Jaya dan Ki Tumenggung Karta negara mengirim utusan menyampaikan laporan kepada sang Prabu.

Berikutnya Perang Campuh Karta Sura dan Surabaya tak terhindarkan, Surabaya di kepung Karta Sura dengan hampir ratusan ribu pasukan.

FOLKLOR CANE BUKTI AIRLANGGA DAN GARUḌAMUKHA BERJAYA DI BUMI JANGGALA

Cerita tutur merupakan salah satu bentuk kearifan lokal. Tradisi menuturkan peristiwa sejarah sudah lama diperkenalkan oleh leluhur kita seb...