Senin, 09 Januari 2017

OUTING SINAU AKSARA JAWA KUNO KOMUNITAS TAPAK JEJAK KERAJAAN


Komunitas Tapak Jejak Kerajaan (TJK) secara rutin setiap satu bulan sekali selalu menyelenggarakan kegiatan Sinau Aksara Jawa Kuno yang bertempat di Museum Mpu Tantular, Sidoarjo - Jawa Timur.

Suasana Sinau Aksara Jawa Kuno di Museum Mpu Tantular - Sidoarjo

Pada hari Minggu yang cerah, tanggal 08 Januari 2017, Komunitas Tapak Jejak Kerajaan mengadakan kegiatan Outing Sinau Aksara Jawa Kuno dengan mengunjungi 5 lokasi cagar budaya, yaitu Prasasti Kusambyan/Grogol, Prasasti Munggut/Sumber Gurit, Situs Sendang Made, Goa Made/Situs Kedung Watu, dan yang terakhir Gunung Pucangan

Acaranya sungguh menyenangkan dan tidak membosankan, karena kita bisa belajar aksara Jawa Kuno, sekaligus belajar sejarah sambil jalan-jalan. Pesertanya-pun lumayan banyak, sekitar 30 orang lebih. Ditambah lagi, selama praktik membaca aksara Kawi secara langsung di prasasti ini, kita juga didampingi oleh ahlinya yang sudah mempunyai jam terbang tinggi dalam membaca aksara di prasasti, beliau adalah sang guru Sinau Aksara Jawa Kuno, Mbah Goenawan A. Sambodo.


Foto Bersama Mbah Goenawan A. Sambodo

Tidak lupa, dalam setiap kunjungan ke masing-masing lokasi cagar budaya, kita juga didampingi oleh sang Jupel (Juru Pelihara). Hal ini membuat kami bisa dengan mudah masuk ke dalam salah satu bilik kecil di Sendang Made yang digunakan untuk menyimpan prasasti dan benda-benda cagar budaya lainnya. Jujur, sebenarnya lumayan susah untuk bisa memasukinya. Kabarnya, menurut keterangan Jupel prasasti Kusambyan dan Munggut, meskipun kita sudah izin ke Jupelnya, belum tentu kita akan diberi izin untuk masuk kedalamnya.

Foto Peserta Outing Sinau Aksara Jawa Kuno

Wajah-wajah Peserta yang Ceriah dan Penuh Semangat

Dalam kesempatan ini, saya ingin sedikit berbagi informasi mengenai kesejarahan dari masing-masing lokasi yang kami kunjungi. Mohon maaf dan mohon dikoreksi kalau ada yang salah!. Maklum saja, disamping baru belajar sejarah, disini penulis juga hanya manusia biasa yang tak sempurna dan kadang salah. Kayak lirik lagu ya? Hehehehe.

1. Prasasti Kusambyan/Grogol

Prasasti Kusambyan/Grogol secara administratif terletak di Dusun Grogol, Desa Katemas, Kecamatan Kudu - Jombang. Prasasti terbuat dari batu andesit dengan aksara dan bahasa Jawa kuno, dan diperkirakan masih in-situ. Kondisi prasasti sudah tidak utuh lagi, karena bagian atasnya pecah menjadi 9 bagian (data 2012). Menurut informasi yang saya dapatkan dari Jupelnya, dahulu (tidak diketahui secara pasti tanggal, bulan, dan tahunnya), kabarnya ada orang yang bersemedi di lokasi prasasti tersebut, maklum lokasi prasasti memang lumayan jauh dari pemukiman penduduk, dan berada di lahan pohon jati milik bapak Wadiso.

Dalam proses semedi, kabarnya ada emas yang terlihat berada di dalam prasasti bagian atas. Oleh karena itu, entah saking tololnya atau saking serakahnya, orang yang bersemedi tadi akhirnya memecah batu prasasti dengan cara memukul-mukulnya (tidak diketahui dengan pasti menggunakan alat apa), hingga akhirnya bagian atas prasasti itu pecah menjadi beberapa bagian, harapannya agar bisa mengambil emas yang menurut penerawangannya berada di dalamnya. Itulah sebabnya mengapa bagian atas prasasti pecah menjadi 9 bagian.

Kondisi Bagian Atas Prasasti Kusambyan/Grogol yang Pecah

Angka tahun Prasasti rusak, namun berdasarkan paleografinya berasal dari masa Airlangga. Isi prasasti menyebutkan dua lokasi penting, yakni Kraton Madander yang dirusak musuh si Cbek disaat perang (ring samarakaryya nguni ri kala satru si Cbek an tamolah makadatwan i Madander = baris 11-12 rect), dan desa Kusambyan yang dikukuhkan menjadi sima/tanah perdikan/bebas pajak (sima ri pageh makarasa sumima thaninya i Kusambyan = baris 15 rect). [Sumber: Titi Surti Nastiti, Prasasti Kusambyan: Identifikasi lokasi Madander dan Kusambyan. AMERTA. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi vol 31 no 1 Juni 2013, hal 1-80]

Foto disamping Prasasti Kusambyan/Grogol

2. Prasasti Munggut/Sumber Gurit

Prasasti Munggut/Sumber Gurit secara administratif berada di Dusun Sumber Gurit, Desa Katemas, Kecamatan Kudu - Jombang. Prasasti yang terbuat dari batu andesit dengan aksara dan bahasa Jawa kuno ini seluruh aksaranya masih bisa terlihat dengan baik, dan diperkirakan masih in-situ. Prasasti juga dalam kondisi utuh serta terawat (diberi cungkup, berlantai keramik, dan dipagar), dan berdiri di pekarangan/halaman rumah warga. Menurut keterangan dari Jupelnya, rumah warga tersebut tidak lain adalah rumah milik bapaknya si Jupel sendiri. 

Foto Peserta Outing Sinau Aksara Jawa Kuno di Prasasti Munggut/Sumber Gurit

Peserta Outing Sinau Aksara Jawa Kuno Sedang Berpose di Depan Prasasti Munggut/Sumber Gurit

Isi prasasti peninggalan Raja Airlangga tersebut tersusun menjadi 24 baris, masing-masing untuk sisi depan (recto) dan belakang (verso), serta 42 baris untuk kedua sisi lainnya (semua sisi prasasti terpahat/terukir aksara). Ditetapkan pada tanggal 14 Krisnapaksa, Bulan Caitra, Tahun 944 Çaka (03 April 1022 M). Prasasti Munggut memuat berita tentang penetapan sima (tanah perdikan/bebas pajak) bagi penduduk Desa Munggut (sekarang masuk dalam wilayah Dusun Sumber Gurit). 

Berikut kutipan isi Prasasti Munggut/Sumber Gurit mulai dari baris 3 hingga 8 recto:

3. Swasti saka warsatita, 944 cetramasa dewata tithi caturdasi Krana* 
4. Paksa, wu, pa, an, wara, balamukti, katika karana naksatra, dahama dewata..
5. Yaja, wanija karana, irika dewansyajna sri maharaja rake halu sri lokeswara
6. Dharmawangsa Airlangga wikramattunggadewa**, tinadah rakryan mahamantrina sri sanggra
7. Ma wijaya prasadottunggadewi, uminsor i rakryan pacang pu dwija kemanakenikanag kara
8. … munggut*** sapasuk thani..

* tanggal penetapan
** nama raja
***nama desa/thani
[Sumber: https://gapurajombang.wordpress.com/2014/05/02/prasasti-sumber-gurit-prasasti-munggut/comment-page-1/]

Foto disamping Prasasti Munggut/Sumber Gurit

Peserta Foto Bersama Jupel Prasasti Munggut/Sumber Gurit

3. Situs Sendang Made

Situs Sendang Made secara administratif terletak di Desa Made, Kecamatan Kudu - Jombang. Di Sendang Made kita bisa menjumpai beberapa sendang, ada Sandang Drajat, Sendang Pengilon, dan Sendang Paomben. Menurut legenda, saat berada disekitar Kapucangan, Airlangga sempat singgah di Sendang Made. Setelah mandi di sendang tersebut, Airlangga yang masih menyamar sebagai pengamen menjadi semakin laris. Dari legenda inilah lahir upacara adat “Kungkum” yang hingga kini masih dilestarikan. Upacara adat tersebut biasanya dilakukan oleh para sinden agar karirnya semakin laris dengan berendam di dalam Sendang Made. [Sumber: https://gapurajombang.wordpress.com/2014/05/04/situs-sendang-made/]

Lokasi Sendang Made

Berteduh Sambil Beristirahat di Pendopo yang Terdapat di Sendang Made

Di Sendang Made kita juga bisa menjumpai beberapa benda cagar budaya, seperti prasasti, fragmen arca, panil relief, dan gentong kuno. Benda-benda tersebut diamankan di dalam salah satu bilik kecil di pinggir Sendang yang pintunya selalu tertutup dan digembok. Hal ini dilakukan untuk menjaga agar benda-benda cagar budaya yang disimpan di dalamnya aman dan tidak hilang. Selain benda-benda tadi, di dalam bilik tersebut juga tersimpan beberapa pecahan terakota. Dalam kunjungan saya yang kedua kalinya ini, saya bersyukur akhirnya bisa memasuki bilik kecil tersebut, meski harus berdesak-desakan dengan teman-teman penggiat sejarah lainnya yang sangat antusias dan penasaran ingin melihat prasasti Sendang Made.

Benda-Benda Cagar Budaya yang Disimpan di Dalam Bilik Kecil

Prasasti Sendang Made ditulis dengan menggunakan aksara kuadrat, yakni aksara Kawi atau Jawa Kuno yang ditulis dengan bentuk huruf menyerupai kotak atau bujursangkar, semacam jenis huruf cetak tebal (Bold), yang lazim digunakan pada masa Airlangga. Tapi anehnya, di atas prasasti terdapat potongan batu angka tahun era Majapahit. Angka tahun tersebut terbaca 1363 Çaka atau 1441 M, era pemerintahan Bhra Prabhu Stri Dewi Suhita, raja Majapahit ke-8. Sedangkan aksara Kuadrat di prasasti terbaca (mohon maaf kalau salah dan mohon koreksinya):

tuk = menari
iŋ / ing = di
wasanta = musim semi (bunga)
yage..? = ?????
paraṇdhi = dermawan / murah hati

Menari di musim semi?. Apakah potongan isi prasasti tersebut ada kaitannya dengan legenda penyamaran Airlangga sebagai pengamen?. Hingga akhirnya lahir upacara adat "kungkum" di Sendang Made yang sampai saat ini masih dilestarikan?. "jangan-jangan?". Memang, prasasti ini menjadi petunjuk penting tentang keterkaitan antara Sendang Made dengan Raja Airlangga.

Prasasti Beraksara Kuadrat yang di Atasnya Terdapat Potongan Batu Angka Tahun

Foto Bersama Benda-Benda Cagar Budaya yang Disimpan di Dalam Bilik Kecil

4. Goa Made/Situs Kedung Watu

Sama seperti Situs Sendang Made, Goa Made/Situs Kedung Watu secara administratif juga berada di Desa Made, Kecamatan Kudu - Jombang. Jarak antar kedua situs tersebut tidaklah jauh. Situs Kedung Watu atau lebih dikenal dengan nama Goa Made merupakan lokasi peninggalan purbakala yang masih menyimpan misteri tentang penemuan topeng, karena belum pernah ada topeng dan kerak besi yang ditemukan di dalam goa bawah tanah. Beberapa ahli melakukan analisis terhadap topeng tersebut guna membuka tabir misteri Goa Made. Ada yang menyimpulkan topeng tersebut terbuat dari bahan Cermet, ada juga yang menduga terbuat dari bahan Terakota. [Sumber: https://iaaipusat.wordpress.com/2012/04/09/fenomena-topeng-gua-made/]

Lokasi Goa Made

Pengamatan di Goa Made

Menurut arkeolog dari University of Arkansas (Romeo Center), Amerika Serikat, Claudio Giardino, dalam paparannya yang disampaikan di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Kamis (11/8/2011), mengatakan bahwa dari serangkaian uji material yang mereka lakukan, beberapa topeng goa made mengandung tanah liat, tembaga, dan seng. Sementara topeng yang lainnya terbuat dari campuran tanah liat, timah, dan besi. Campuran (keramik) dan berbagai jenis logam (metal) ini dikenal sebagai 'cermet' (ceramic metal).

Temuan topeng dari material 'cermet' ini merupakan satu-satunya di dunia. Karena, sebagian besar temuan topeng dari situs-situs di dunia terbuat dari emas dan kayu. Di masa sekarang, 'cermet' dikembangkan untuk membuat cip komputer. 

Peserta Tidak Ada yang Berani Masuk ke Dalam Goa

Menurut Guru Besar Arkeologi Universitas Indonesia, Agus Aris Munandar, jika dilihat dari konteks temuannya yang berada di dalam Goa Made, topeng tersebut diperkirakan berasal dari abad ke-10 sampai abad ke-14 Masehi. Topeng tersebut diduga ada kaitannya dengan situs Kerajaan Majapahit di Trowulan. Menurutnya, bata yang dibuat untuk membangun Goa Made ukurannya sama dengan bata di Trowulan. Goa Made sebenarnya merupakan terowongan memanjang yang berada di bawah permukaan tanah dan mulutnya sangat sempit. [Sumber: http://sains.kompas.com/read/2011/08/12/11352481/Topeng.Goa.Made.Diteliti]

Mulut Goa yang di Atas Langit-langitnya Terlihat Struktur Bata Kunonya. Di Atas Permukaan Mulut Goa Juga Terdapat Tumpukan Bata Kuno

Dari pengamatan saya selama di lokasi Situs Kedung Watu/Goa Made, saya mendapati ada dua lobang (mulut) Goa, satu sudah diberi cungkup, dan satunya lagi belum. Lobang (mulut) Goa yang bercungkup merupakan tempat penemuan topeng, dan menurut informasi dari sang Jupel, kondisi lobang goa-nya mulai dari mulut goa sampai ke dasar goa langsung turun vertikal dengan kedalaman kurang lebih 5 meter. Memang bila kita amati dari atas, goa tempat penemuan topeng tersebut sepintas mirip seperti sumur.

Goa Tempat Penemuan Topeng yang Diberi Cungkup

Ada juga lobang goa yang tidak bercungkup dan di atas mulut goanya terdapat tumpukan bata kuno dengan ukuran besar, yaitu 45×20×10. Lobang (mulut) goanya sempit, dan bila kita sedikit masuk kedalamnya akan terlihat struktur bata kuno yang menyangga langit-langit goa (tertata diatas langit-langit goa), semacam bangunan bekas terowongan. Diduga goa ini buatan manusia (warisan leluhur) yang pada zaman dulu (entah pada masa kerajaan Majapahit?) berfungsi sebagai gorong-gorong, karena memang mirip seperti terowongan saluran air. Selain diduga sebagai saluran air, goa ini juga diduga berfungsi sebagai tempat pelarian atau persembunyian, semacam bunker.

Salam Boto Lawas di Atas Mulut Goa yang Tidak Bercungkup

5. Gunung Pucangan

Gunung Pucangan secara administratif berada di Desa Cupak, Kecamatan Ngusikan - Jombang. Gunung yang terkenal dengan cerita mistisnya ini diduga kuat sebagai tempat asal Prasasti Pucangan yang sekarang kabarnya ditelantarkan di gudang Museum di Calcutta India. Di gunung yang hutannya masih lumayan lebat ini, kita bisa menemukan beberapa Sendang atau kolam pemandian, seperti Sendang Dermo dan Sendang Widodaren. Pada hari tertentu (Malam Jumat Legi) gunung ini akan ramai dikunjungi oleh warga yang mempunyai hajat untuk meminta berkah.

Panorama Alam di Gunung Pucangan

Blusukan di Gunung Pucangan

Di gunung Pucangan kita juga bisa menjumpai beberapa makam kuno, seperti makam Dewi Kili Suci, dan beberapa makam kuno lainnya. Makam-makan kuno tersebut ada yang masih berkijingkan tatanan bata kuno, dan ada juga yang sudah berkijing keramik (baru dipugar). Apakah makam-makam kuno tadi memang benar-benar sebuah makam atau bukan?. Memang layak untuk dicurigai, "jangan-jangan?". Sebaran bata kuno di gunung Pucangan memang lumayan banyak, bahkan anak tangga di gunung Pucangan juga terbuat dari tatanan bata kuno. Jadi, patut diduga jika sebaran bata kuno tersebut adalah bekas reruntuhan bangunan ("Jangan-jangan?").

Makam Dewi Kili Suci

Makam yang Kijingnya Terbuat dari Tatanan Bata Kuno

Begitu kami tiba di Gunung Pucangan, lokasi pertama yang kami kunjungi adalah makam Dewi Kili Suci. Disana kami sempatkan untuk berdiskusi bersama Juru Pelihara/Juru Kunci makam mengenai kesejarahan dari makam Keramat tersebut sambil meminta izin untuk memasuki lokasi makam. Setelah mendapatkan izin, kami langsung masuk ke dalam lokasi makam. Kondisi makam bercungkup dan tertutup rapat, sehingga suasananya gelap, karena kurang cahaya. Di dalam cungkup makam Dewi Kili Suci, kami menemukan 2 makam yang berdampingan dengan nisan berukuran sama besar, dan sama-sama terbungkus kain putih. Karena demi untuk kepentingan penelitian, kami akhirnya memberanikan diri untuk membuka kain putih pembungkus nisan makam tersebut, tentunya dengan tidak mengurangi rasa sopan dan hormat kami terhadap makam keramat ini.

Anak Tangga di Gunung Pucangan yang Terbuat dari Tatanan Bata Kuno 

Diskusi Sejarah Bersama Juru Kunci Makam Dewi Kili Suci Sekaligus Meminta Izin Untuk Masuk Kedalam Lokasi Makam

Setelah berhasil dibuka, ternyata nisan makam tersebut adalah sebuah Lingga berukuran besar yang sudah dicat warna putih. Begitu juga dengan nisan makam yang berada disebelahnya, ternyata juga sama, yakni sebuah Lingga yang memiliki ukuran sama besar. Entah kedua Lingga yang berdampingan tersebut masih in-situ atau tidak?. Sekarang yang menjadi pertanyaannya adalah apakah kedua makam tadi benar-benar makam atau bukan?. Ya, patut untuk dicurigai, "jangan-jangan?".

Proses Membuka Kain Putih Pembungkus Nisan Salah Satu Makam. Dan, Ternyata Nisan Tersebut Adalah Sebuah Lingga

Sebuah Lingga Bercat Putih yang Selama ini Dijadikan Nisan Makam

Sebelumnya saya sudah pernah berkunjung ke gunung Pucangan, dan waktu itu saya hanya menemukan 2 Lingga saja, yang juga berukuran besar. Yang satu berada di depan Mushola di dekat pohon rindang, dan yang satunya lagi berada di samping 3 makam panjang yang sekarang sudah dikelilingi pagar tembok, berlantai dan berkijingkan keramik, juga sudah diberi atap yang menyerupai rumah gadang. Bangunan tersebut tergolong masih baru, karena waktu saya mengunjungi gunung Pucangan kurang lebih setahun yang lalu, masih belum ada bangunan baru itu. Dan, dulu ketiga makam panjang tersebut, kijingnya masih terdiri dari tatanan bata kuno. Kedua Lingga tadi diperkirakan sudah tidak in-situ lagi. Jadi, jumlah total Lingga yang berada di Gunung Pucangan semuanya berjumlah 4 Lingga dengan ukuran yang hampir sama besar.

Kang TP PIKNIK Sedang Melakukan Penghormatan Terhadap Benda Peninggalan Leluhur, yakni Sebuah Lingga di Depan Mushola di Sebelah Pohon Rindang

Mbah Goenawan A. Sambodo Sedang Berpose di Samping Lingga yang Berada di Samping 3 Makam yang Sudah di Kelilingi Tembok Baru. 

"Tulisan itu rekam jejak. Sekali dipublikasikan, tak akan bisa kau tarik. Tulislah hal-hal berarti yang tak akan pernah kau sesali kemudian." (Helvy Tiana Rosa).

Jumat, 06 Januari 2017

MISTERI LETAK PADEPOKAN LEMAH TULIS/LEMAH CITRA TEMPAT TINGGAL PU BHARADAH


Nama Citro tidaklah asing ditelinga para pemerhati sejarah di Lamongan. Bukit atau Gunung Citro (Lemah Citra?) atau Gunung Lantung terletak di Desa Wonokoyo, Kecamatan Sambeng, Kabupaten Lamongan. Tempat yang masih menyimpan misteri ini berupa hamparan tanah datar di atas bukit yang sulit ditumbuhi tanaman atau pepohonan, karena adanya beberapa titik kubangan/sumber air (seperti air mendidih) dengan aroma belerang yang oleh warga sekitar dimanfaatkan sebagai 'titet' (bahan campuran untuk membuat kerupuk puli). Air tersebut adalah air yang keluar dari dalam tanah dengan kandungan garam dan mineral lain yang biasanya terdapat di sekitar sumber minyak bumi. Karena itu, tidak heran jika di Citro sejak masa kolonial sudah dijadikan titik lokasi explorasi minyak dan gas Bumi.

Padang Bukit Citro

Di Bukit Citro, kita juga bisa menikmati panorama alam yang lumayan indah untuk dipandang, karena wilayah Citro dikelilingi hutan berjenis Heterogen yang saat ini sangat jarang ditemukan di Kabupaten Lamongan. Beberapa bukit juga bisa dijumpai di sekitar Citro, seperti bukit Sodo (Kendalisodo?) dan bukit Ulo (Ular). Disamping itu, di Citro kita juga bisa menemukan batu kursi serta dua sumur air yang dinamakan sumur Banyu Legi. Selain nama 'Banyuasin', beberapa nama lain yang biasanya berkaitan dengan keberadaan sumber-sumber minyak dan gas bumi, yaitu nama 'Banyupahit' dan 'Banyulegi'. Konon katanya, air sumur tersebut dapat digunakan untuk menyembuhkan penyakit gatal-gatal (penyakit kulit). 

Bukit Ulo

Sampai saat ini, Citro masih diselimuti kabut misteri, terutama misteri tentang letak padepokan (pertapaan) Pu Bharadah yang menurut Serat Calon Arang lokasinya berada di sebuah makam tempat pembakaran mayat/jenazah. Pu Bharadah adalah seorang Bhiksuka (pendeta agama Buddha) yang terkenal akan kesaktiannya, dan tinggal di padepokan (pertapaan) di makam Lemah Tulis/Lemah Citra yang diduga masuk ke dalam wilayah Kahuripan. Menurut sejarahnya, Pu Bharadah adalah tokoh yang membagi kerajaan Airlangga (Medang Kahuripan) menjadi dua, yakni Jaṅgala dan Paṅjalu pada tahun 974 Çaka/1052 M. Berita tentang terbaginya kerajaan Airlangga terdapat pada prasasti Truneng/Turun Hyang B (verso) 976 Çaka/1054 M, prasasti Wurare 1211 Çaka/21 November 1289 M, Kitab Calon Arang, serta Kakawin Nãgarakṛtãgama. Kakawin Nãgarakṛtãgama pupuh 68 mengisahkan: "dengan menuangkan (air=4) kendi dari langit (Pu=7) Bharãda (membagi=9) kerajaan Airlangga" [Hinzler 1979 : 483]. Dalam Sejarah Nasional Indonesia II, Boechari berpendapat bahwa kedua kerajaan tersebut dibatasi oleh sungai. Apakah sungai itu adalah Kali Lamong?, Bengawan Solo?, atau Sungai Brantas?. Dan, dugaan saya adalah Kali Lamong. 

Batu Kursi

Kerajaan Jaṅgala diberikan kepada Mapañji Garasakan. Mapañji Garasakan adalah anak laki-laki raja Airlangga dengan permaisuri. Mapañji Garasakan juga merupakan adik kandung Çrĩ Sanggrãmawijaya Dharmmaprasãdottunggadewa, yang memilih menjadi petapa/biksuni dengan gelar Dewi Kili Suci seperti yang diberitakan dalam kitab Babad Tanah Jawi, dan juga bergelar Rara Sucian/Rara Kapucangan seperti yang terberitakan dalam Sêrat Kanda. Jadi, Mapañji Garasakan adalah raja pertama Kerajaan Jaṅgala dengan gelar abhiseka Çrĩ Mahãrãja Rakai Halu Mapañji Garasakan, dan berkedudukan di ibu kota lama Kahuripan. Wilayah kerajaan Jaṅgala diduga berada di Utara Kali Lamong.

Sumur Banyu Legi

Sedangkan kerajaan Paṅjalu diberikan kepada anaknya Çrĩ Samarawijaya Dharmmasuparṇacaraṇa Tguh Uttunggadewa, yang berjuluk Hãji Pãṅjalu, yang pernah mengeluarkan prasasti Mãtaji 973 Çaka/1051 M dengan gelar abhiseka Çri Mahãrãjyetêndrakara (Palade[wa]) Wuryya Wiryya Parakrama Bhakta. Pada prasasti tersebut di sisi depan (recto) baris ke-16 ada kata: "..hajyan paṅjalu kala.." ; "..hajyan paṅjalu ketika..". Hãji dan Hajyan artinya sama yaitu: Raja; Bangsawan; Pangeran; Yang Mulia. Çrĩ Samarawijaya merupakan anak dari Çrĩ Dharmmawaṅça (raja Medang Wwatan), yang diduga selamat dari peristiwa Mahapralaya (Kematian Besar). Jadi, Çrĩ Samarawijaya adalah adik dari permaisuri Airlangga (adik ipar Airlangga). Dan, anak dari Çrĩ Samarawijaya tadi, yang berjuluk Hãji Pãṅjalu (versi prasasti Garamãn 975 Çaka/1053 M) adalah raja pertama kerajaan Paṅjalu dan berkedudukan di ibu kota baru Dahaṇa, diduga terletak di sekitar Desa Pamotan (Selatan Kali Lamong), Kecamatan Sambeng - Lamongan (lokasi ditemukannya prasasti Pamotan/Pamwatan).

Kubangan Air Bergelembung

Nama Dahaṇa/Daha diduga lebih dulu dijadikan sebagai nama ibu kota kerajaan Medang (Airlangga) dan Paṅjalu, sebelum akhirnya menjadi nama ibu kota kerajaan Kaḍhiri. Jadi, meskipun Medang, Paṅjalu, dan Kaḍhiri mempunyai nama ibu kota yang sama, yaitu Dahaṇa/Daha, tidak berarti Medang dan Paṅjalu itu identik dengan Kaḍhiri. Dalam Old Javanese English Dictionary (OJED), kamus Jawa Kuna versi terjemahan bahasa Inggris, 'Dahaṇa' berasal dari kata dasar 'Daha' yang artinya: to rule; regulate; be the leader; be the foremost; to exceed; excel (menguasai/memerintah; mengatur; menjadi pemimpin; menjadi terkemuka; melebihi/melampaui; mengungguli), dan mendapat tambahan atau akhiran 'ṇa' (pakai ṇ titik bawah) yang berarti untuk 'me-sangat-kan'. Jadi, kemungkinan 'Dahaṇa'pura artinya adalah ibu kota/keraton/istana yang sangat (paling) terkemuka. Nama 'dahaṇa' terukir menggunakan aksara Kwadrat pada sisi depan (recto) bagian atas prasasti Pamwatan/Pamotan (lokasi desa Pamotan, Sambeng - Lamongan) yang dikeluarkan Raja Airlangga pada tahun 964 Çaka atau tepatnya 19 Desember 1042 M, dan merupakan prasasti akhir dari pemerintahan raja Airlangga. Hal ini tentu sesuai dengan berita dalam Serat Calon Arang, bahwa saat akhir pemerintahan Airlangga, pusat kerajaan sudah tidak lagi berada di Kahuripan, melainkan pindah ke Dahaṇapura. Namun, dalam uraian serat tersebut tidak disebutkan secara pasti dimanakah persisnya letak keraton Dahaṇapura itu berada.

Sumur Banyu Legi

Dalam berbagai peristiwa, terdapat hubungan antara Airlangga dengan Pu Bharadah, mulai dari masa pelarian Airlangga hingga masa Airlangga menjadi raja. Pada saat terjadinya peristiwa Mahapralaya, Airlangga waktu itu merupakan warga baru di Jawa yang belum mengenal dan menguasai medan. Dia datang dari Bali ke Jawa diusia 16 tahun untuk menikah dengan seorang Putri Jawa, yakni anak perempuan Çrĩ Dharmmawaṅça (raja Medang Wwatan). Tragisnya, tepat di saat resepsi pernikahannya pada tahun 939 Çaka/1017 Masehi, istana tempat berlangsungnya acara diserang oleh Hãji Wura Wari, hingga akhirnya terjadi peristiwa Mahapralaya di istana Wwatan. Dalam peristiwa itu, raja Medang Wwatan, Çrĩ Dharmmawaṅça ikut terbunuh.

Prasasti Pucangan/Calcutta Stone 963 Çaka/1041 M Bahasa Jawa Kuna (lokasi awal prasasti ada di gunung Pucangan, Ngusikan - Jombang, sebelum dipindah ke Calcutta India) memberitakan:
"...tan ilwa kawaça dening paṅawara mahãpralaya, maṅanti ri himbang ri wanagiri..."
"...tidak mungkin binasa oleh mahapralaya, dia (Airlangga) tinggal di himbang (Ngimbang - Lamongan) di hutan lereng gunung..."

Suasana di Bukit Ulo

Airlangga yang berhasil lolos dari serangan tersebut dan masih hidup, oleh Pu Narottama diungsikan ke Himbang (Ngimbang), pastinya ada alasan mengapa Pu Narottama mengarahkan pelariannya ke daerah tersebut. Diduga hal ini dikarenakan Pu Narottama ingin meminta perlindungan sekaligus memperkenalkan Airlangga kepada Pu Bharadah untuk pertama kalinya. Perlu untuk diketahui bahwa Pu Bharadah diduga merupakan adik dari Pu Kuturan, seorang Menteri Agama di kerajaan yang dipimpin oleh bapaknya Airlangga, yaitu raja Udayana, di Bedahulu - Bali. Oleh karena itu, bisa dipastikan Airlangga akan aman di bawah perlindungan Pu Bharadah.

Setelah dua tahun masa pelarian dan pertapaan, pada tahun 941 Çaka/1019 Masehi, Airlangga dinobatkan menjadi seorang Raja oleh para pendeta dari tiga aliran, yaitu Çiwa, Buddha, dan Mahãbrãhmaṇa, dengan gelar abhiseka Çri Mahãrãja Rakai Halu Çri Lokeçwara Dharmmawaṅça Airlaṅga Anãntawikramottuṅgadewa. Kemudian Airlangga berkeraton di Wwatan Mas, diduga berada di sekitar Dusun Wotan (perubahan toponim dari Wwatan ke Wotan), Desa SlaharWotan, Kecamatan Ngimbang - Lamongan. Dugaan itu diperkuat dengan temuan Prasasti Wotan di dusun tersebut. Sayangnya kondisi prasasti sudah aus/rusak, tapi untungnya jejak aksaranya masih terlihat, dan serupa dengan bentuk aksara pada prasasti era Airlangga (Suhadi & Kartakusuma 1996 : 42).

Perlu untuk diketahui bahwa ada tiga Prasasti yang menyebut Keraton Airlangga di Wwatan Mas, yaitu: Prasasti Munggut/Sumber Gurit 944 Çaka/1022 M (lokasi Dusun Sumber Gurit, Desa Katemas, Kecamatan Kudu - Jombang, dekat wilayah Lamongan Selatan); Prasasti Cane 943 Çaka/1021 M (lokasi Dusun Cane, Desa Candisari, Kecamatan Sambeng - Lamongan); dan Prasasti Terep 954 Çaka/1032 M. Prasasti Cane 943 Çaka/1021 M memberitakan:
"...Çrĩ Mahãrãja ri maniratna singgasana makadatwan ri wwatan mas..."
"...Sri Maharaja di singgasana permata berkedaton di Wwatan Mas..."

Pemandangan di Sekitar Citro 

Pada tahun 954 Çaka/1032 Masehi, ketika berkeraton di Wwatan Mas, kerajaan Airlangga diserang oleh musuh, yakni oleh raja raksasa wanita (raja wanita yang memiliki kekuasaan besar). Dari serangan itu, Airlangga kalah dan mengungsi ke Patakan (Desa Pata'an, Kecamatan Sambeng - Lamongan). Desa Pata'an merupakan tempat asal dari prasasti Patakan, dan di desa tersebut juga ditemukan bangunan candi (candi Patakan). Ada dua prasasti Airlangga yang memberitakan tentang penghargaan (appreciation) kepada penduduk Desa Patakan atas jasanya kepada raja Airlangga, dan kedua prasasti tersebut lokasinya dekat dengan Desa Pata'an, Kecamatan Sambeng - Lamongan, yaitu Prasasti Pasarlegi 965 Çaka/1043 M (Sambeng), dan Prasasti Sendangrejo 965 Çaka/1043 M (Ngimbang). Diduga, kedua prasasti tersebut sebenarnya merupakan satu prasasti yang sama. Prasasti Terep 954 Çaka/21 Oktober 1032 M memberitakan:
"...ri kala Çrĩ Mahãrãja kalataya sangke wwatan mas mara i patakan..."
"...ketika Sri Maharaja kalah dari Wwatan Mas menuju Patakan..."

 Misteri Bukit Citro

Karena sudah mengenal baik Pu Bharadah, Airlangga dalam pelariannya yang kedua mendatanginya lagi untuk meminta perlindungan. Ditambah lagi, ternyata raja raksasa wanita yang dihadapi Airlangga ini diduga merupakan mantan kakak iparnya Pu Bharadah sendiri (mantan istrinya Pu Kuturan), dia adalah Janda dari Desa Girah alias Pãduka Çrĩ Mahãdewĩ Siniwi riŋ Khaḍiri (Pãduka Çrĩ Mahãdewĩ yang berkedudukan di Khaḍiri) yang pernah mengeluarkan Prasasti Carama/Maŋuri pada tahun 937 Çaka/1015 M. Akhirnya, di tahun yang sama (tahun pelarian Airlangga ke Patakan), yaitu pada tahun 1032 Masehi, Airlangga yang dibantu Pu Bharadah berhasil mengalahkan raja Strĩrãkṣasĩ tadi.

Batu Kursi Cocok Untuk dijadikan Tempat Merenung

Berdasarkan uraian berbagai peristiwa diatas, sehingga memunculkan dugaan bahwa dahulu nama Sambeng masih belum ada, dan masih menjadi satu wilayah dengan Himbang/Ngimbang (wilayah Sambeng memang berbatasan langsung dengan Ngimbang). Dan, wilayah tersebut diduga merupakan tempat aktivitas Pu Bharadah. Dugaan itu didukung dengan ditemukannya candi Patakan atau bangunan Sang Hyang Patahunan (versi prasasti Patakan) di Desa Pata'an, Kecamatan Sambeng - Lamongan, yang mana lokasi tersebut patut dicurigai dulunya sebagi Mandala atau tempat perguruannya Pu Bharadah. Dalam Kamus Jawa Kuno Indonesia, P.J. Zoetmulder dan S.O. Robson, 1995, Hyang atau Rahyang dengan Karuhun berarti leluhur (orang tua; nenek moyang; pepunden) yang dipuja sebagai Dewa atau orang suci. Dan, Sang Hyang merupakan nama depan untuk sebuah penghormatan (honorafik prefik) kepada seseorang nenek moyang (leluhur) atau orang suci. Jadi, Sang Hyang Patahunan patut diduga merupakan gelar anumerta untuk seorang leluhur (orang tua atau nenek moyang), atau orang suci (agamawan atau pendeta), dugaan saya adalah Pu Bharadah, yang bersama murid-muridnya serta pengikut-pengikutnya (anak dan keturunannya), yakni Buyut Banil dan warga Patakan, telah berjasa dalam melindungi serta menjamin keselamatan Airlangga. Karena itu, sebagai penghormatan untuk mengenang jasa-jasanya, maka dibangunlah sebuah bangunan suci untuk Sang Hyang Patahunan, yaitu sebuah bangunan candi (candi Patakan).

Candi Patakan/Sang Hyang Patahunan 

Meskipun padepokannya (pertapaannya) di Citro, tapi bisa dibilang jarak antara Citro dengan Pata'an tidaklah jauh. Dan, saat ini kedua tempat tersebut secara administrasi berada pada satu wilayah kecamatan yang sama, yaitu Kecamatan Sambeng - Lamongan. Menurut Serat Calon Arang, pertapaan Lemah Tulis/Lemah Citra lokasinya berada di sebuah makam tempat pembakaran mayat/jenazah. Hal ini tentu sesuai dengan kondisi Citro yang kaya akan sumber minyak dan gas Bumi, diduga bahan bakar tersebutlah yang dulunya digunakan untuk membakar mayat/jenazah. Kemudian, hutan heterogen di wilayah Citro, dan beberapa bukit seperti bukit Sodo (Kendalisodo?) dan bukit Ulo (Ular) juga patut dicurigai yang di maksud Wanagiri (hutan lereng gunung) pada Prasasti Pucangan. Lokasi Citro sendiri sebenarnya juga tidak jauh dari gunung Pucangan, mengingat prasasti Airlangga banyak ditemukan di wilayah kaki gunung Pucangan, baik yang masuk wilayah Jombang maupun Lamongan.

Sang Hyang Patahunan

Kesimpulan mengenai letak padepokan (pertapaan) tempat tinggal Pu Bharadah di bukit Citro, Wonokoyo, Sambeng, Lamongan hanyalah sebatas dugaan saja. Jadi, hanya kecurigaan, "jangan-jangan?". Mohon maaf! dan Mohon dikoreksi! kalau ada yang salah. Maklum saja, disamping baru belajar sejarah, disini penulis juga hanyalah manusia biasa yang tidak sempurna dan kadang salah. Sebagai informasi tambahan, jika pada tahun 1017 Masehi, pada saat terjadinya peristiwa Mahapralaya Airlangga masih berusia 16 tahun, maka berarti pada tahun 1001 Masehi adalah tahun lahirnya Airlangga (1017 - 16 = 1001).

"LA (Laskar Airlangga) Mania". 

Kamis, 05 Januari 2017

TIRTHAYATRA UNTUK MENGGAPAI PUNCAK NIRWANA

Air adalah penopang peradaban, dan ketersediaannya tidak mungkin bertahan tanpa adanya hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam. Kesadaran untuk melestarikan air nampaknya telah diaplikasikan dalam kehidupan para pendahulu kita. Bagi leluhur Jawa, air begitu berharga dan disucikan. Lantaran urgen, maka air disucikan. Dengan mensucikan air, maka urgensinya bagi keberlangsungan hidup makhluk hidup akan lebih terjaga. Mata air atau sumber air yang disucikan bukan hanya yang terdapat pada Patirthan/Sendang atau Telaga yang berada di kaki gunung dan dataran rendah saja, tetapi danau di atas gunung pun juga ikut disucikan, seperti halnya pada danau dingin berselimut kabut Ranu Kumbolo.

Danau Dingin Berselimut Kabut Ranu Kumbolo

Siapa yang tidak kenal Ranu Kumbolo?. Danau super cantik dengan altitude 2400 mdpl, dan bersuhu minimal -5 - -20°C ini berada di gunung Semeru, Jawa Timur. Foto-foto tentang keindahan Ranu Kumbolo mendominasi dibanyak akun Instagram Komunitas Pecinta Alam/Pendaki Gunung. Wajar saja, karena Ranu Kumbolo bak serpihan Surga. Ya, harus diakui, bahwa keindahan dan kecantikannya bukan hanya menghipnotis mata, tapi juga hati.

Kecantikan Telaga Suci Ranu Kumbolo yang Menghipnotis Mata dan Juga Hati

Air suci di telaga yang mempunyai luas 15 Ha ini jika dilihat dari atas bukit, berwarna biru bercampur kehijauan, sangat memanjakan mata yang melihatnya. Bukan hanya itu, telaga yang menjadi Surganya para pendaki gunung Semeru ini juga memberikan beberapa suguhan yang bisa menghipnotis mata dan juga hati. Seperti pada saat melihat Matahari terbit menyembul dengan diiringi pancaran sinarnya yang menembus celah-celah dua buah bukit. Serta pemandangan kabut yang selalu datang menyelimuti permukaan danau suci nan menawan hati ini. Sungguh suguhan yang benar-benar menakjubkan dan menentramkan jiwa.

Matahari Terbit Menyembul Dengan Diiringi Pancaran Sinarnya yang Menembus Celah-Celah Bukit

Telaga Suci yang Menentramkan Hati

Ranu Kumbolo atau Gembolo disebut danau suci karena seluruh airnya yang super dingin itu suci dan menyucikan. Disebut suci dan menyucikan karena airnya benar-benar jernih, bersih, dan layak minum. Seluruh air yang berada di danau ini juga disucikan oleh umat Hindu Tengger untuk upacara keagamaan. Oleh karena itu, untuk menjaga agar seluruh air danau tetap terjamin kesucian, kebersihan, dan kelestariannya, maka belakangan ini para pendaki diwajibkan ikut briefing Sahabat Volunteer Semeru (Saver).

Danau Suci Ranu Kumbolo Surganya Para Pendaki Gunung Semeru

Menurut kepercayaan orang Hindu Tengger, air suci Ranu Kumbolo adalah air suci yang letaknya tertinggi kedua setelah Sumber Mani di Pos Kalimati, Semeru (altitude 2700 mdpl). Sedikit saya akan membahas air suci Sumber Mani yang keluar dari celah tebing di bekas jalur lahar. Lokasinya agak jauh dari Pos Kalimati, sekitar setengah jam perjalanan. Sesuai dengan namanya Sumber Mani, Mani adalah bahasa Jawa dari Sperma yang merupakan awal mula adanya kehidupan. Oleh karena itu, Sumber Mani adalah sumber air suci pertama yang letaknya paling tinggi, kemudian turun ke Ranu Kumbolo, Ranu Pani, Ranu Regulo, Watu Klosot, dan terakhir di Selokambang. 

Air Suci Sumber Mani
                    
Sebagai air suci dan menyucikan, maka seluruh air yang berada di Ranu Kumbolo terlarang untuk dikotori. Tidak boleh mandi di danau!. Tidak boleh mencuci apapun langsung ke dalam danau!. Mencuci muka, tangan, kaki atau berwudhu saja harus mengambil air dengan wadah lalu dibawa ke pinggir danau. Jangan sungkan untuk menegur pengunjung/pendaki yang belum tahu atau bandel dengan mencelupkan tangan atau kaki ke dalam danau.

Danau Suci Ranu Kumbolo yang Selalu Ramai Disinggahi Para Pendaki

Bukti yang menerangkan bahwa sejak zaman dulu (masa klasik) seluruh air yang berada di Ranu Kumbolo disakralkan atau disucikan (suci dan menyucikan) terdapat pada sebuah prasasti yang berada di tepi danau. Prasasti berbahan andesit tersebut menghadap ke danau dengan tulisan membelakangi danau. Pada prasasti tersebut terdapat tulisan singkat: 'Ling Dēvã Pu Kamęçwarã Tirthayatrã'.  Oleh sejumlah arkeolog dan sejarawan, prasasti tersebut diduga dikeluarkan oleh raja Kameswara,  raja dari kerajaan Khadiri. Menurut sejarawan M. Sukarto Atmojo, tulisan singkat tersebut dapat diartikan bahwa, ketika itu Prabu Kameswara pernah melakukan kunjungan suci dengan mendaki gunung Semeru. Tahun pembuatan Prasasti, masih menurut sang sejarawan, berkisar pada tahun 1182 M. Prabu Kameswara adalah seorang raja dari kerajaan Kadhiri. Dia memerintah sekitar tahun 1182-1188 M, dengan gelar abhiseka Çrĩ Maharaja Çrĩ Kameswara Triwikramawatara Aniwariwirya Anindhita Digjaya Uttunggadewa.

Prasasti Ranu Kumbolo

Sedangkan menurut arkeolog Universitas Negeri Malang, M. Dwi Cahyono, Kata 'Yatra' yang terukir di prasasti mempunyai arti perjalanan spiritual (perjalanan suci). Sehingga, dapat diartikan perjalanan spiritual menuju 'Tirtha' atau air suci (Ranu Kumbolo), atau bisa juga diartikan perjalanan spiritual menuju air suci. Sebelum kata 'Tirthayatra', ada nama 'Kameswara', dan sebelum nama ini juga tertulis 'Deva Pu Kameswara'. Sejumlah sejarawan dan arkeolog menurutnya, merujuk kepada Kameswara yang merupakan Raja Khadiri.

Foto Bersama Bapak IN-DWI-ANA JONES (M. Dwi Cahyono) 

Pendapat ini dinilainya terlalu dini atau belum sepenuhnya benar karena beberapa alasan, yang pertama, tulisan di dalam prasasti partikelnya (honorifix prefix) tidak lazim digunakan untuk seorang raja karena menggunakan kata 'Deva Pu'. Kata ini, oleh Dwi Cahyono jelas merujuk kepada Rohaniawan, bukan Raja. Kalau raja biasanya menggunakan kata 'Çrĩ' atau gelar lainnya yang lazim digunakan untuk raja.

Selanjutnya yang kedua, secara geografis gunung Semeru dengan wilayah Kediri jaraknya cukup jauh, dan waktu itu ditempuh dengan menggunakan transportasi yang sederhana. Selain itu, untuk melakukan 'Yatra' atau perjalanan spiritual di sekitar Kediri juga ada gunung seperti Wilis atau Kelud.

Pertimbangan yang ketiga, aksara yang tertulis di prasasti Ranu Kumbolo ada kemiripan dengan prasasti-prasasti yang ditemukan di Semeru bagian Selatan, mulai Ampelgading - Malang, hingga Senduro - Lumajang. Aksara di Selatan Semeru itu dibuat pada masa kejayaan Majapahit hingga masa akhir Kerajaan Majapahit antara abad 14-15 Masehi.

Foto di Samping Prasasti Ranu Kumbolo

Adanya prasasti di Ranu Kumbolo menandakan bahwa pada abad 14-15 Masehi sudah ada pendakian-pendakian suci atau perjalanan spiritual ke gunung Semeru. Perjalanan mencari air suci memang lazim dilakukan oleh para Rohaniawan pada masa Majapahit, seperti yang pernah dilakukan Raja Hayam Wuruk yang mencari air suci di wilayah kekuasaannya. Perjalanan Hayam Wuruk ke Sumber Wendit, Sumberawan, dan Telaga Biru yang berada di wilayah Malang ini direkam oleh mPu Prapanca dalam kitabnya Nãgarakṛtãgama atau Deçawarṇana.

Candi Sumberawan

Dwi Cahyono menyebut, air suci yang disakralkan di Ranu Kumbolo ini berbeda dengan di tempat-tempat lainnya, seperti telaga atau patirthan/sendang yang pensakralannya hanya berada di titik mata airnya atau di titik-titik tertentu saja. Sedangkan di Ranu Kumbolo, seluruh airnya yang berada di danau itu disakralkan dan dianggap suci. Kata 'Ranu' sendiri identik dengan penyebutan 'cekungan yang terisi air'. Istilah ini hanya digunakan di wilayah Jawa Timur bagian Timur.

Telaga Suci nan Eksotis

Dan, masih menurut sang arkeolog, Ranu Kumbolo bukanlah akhir dari 'Yatra' yang dilakukan, tapi puncak 'Meru' lah yang menjadi tujuan utama dari 'Yatra' tersebut. Sebab, gunung Semeru dianggap sebagai gunung suci karena diidentikkan dengan puncak Meru di Himalaya yang disakralkan sebagai 'Nirwana' tempat para Dewa. Sehingga, Ranu Kumbolo hanya dijadikan tempat singgah atau istilahnya 'Satra', dan di Bali dibaca 'Satre'. Satre tidak hanya berarti singgah saja, tapi juga ada ritual atau ibadah. Karena itu, Dwi Cahyono yakin di Ranu Kumbolo dulu ada semacam bangunan seperti Altar atau bangunan suci yang digunakan untuk beribadah.

Perjalanan ke Mahameru ini juga seperti digambarkan dalam kisah Mahabarata yang dilakukan oleh para Pandawa dan orang-orang yang selamat setelah perang saudara. Dalam perjalan yang berat ini banyak yang meninggal, dan hanya Yudhistira beserta anjingnya saja yang bisa menggapai puncak Nirwana.

Summit Attack/Perjalanan Menuju Puncak Mahameru

Dwi Cahyono juga memperkuat pendapatnya tentang perjalanan yang berat ke Mahameru dengan menafsirkan relief di Candi Jajaghu atau Candi Jago di Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang. Ada relief di candi ini yang menurutnya merupakan gambar Kunjarakarna atau percabangan jalan. Percabangan jalan ini yang satu berbentuk lurus, dan yang satunya lagi berkelok-kelok dan mendaki.

Candi Jajaghu/Candi Jago

Gambaran jalan yang berkelok-kelok dan mendaki di relief Candi Jago ini ditafsirkan Dwi Cahyono sebagai perjalanan menuju Mahameru yang merupakan tempat para Dewa atau Surga. Sehingga titik akhir dari 'Yatra' yang dilakukan oleh Pu Kameswara adalah puncak Mahameru atau Nirwana. Dan, cabang jalan yang lurus ditafsirkan perjalanan menuju Neraka. [Sumber: https://www.terakota.id/kisah-pendakian-kuna-semeru/]

Puncak Mahameru/Nirwana

Negeri di Atas Awan (Puncak Mahameru) 

Pada sisi Barat dan Utara Ranu Kumbolo terdapat area yang cukup luas untuk mendirikan tenda. Dari sini, terutama di pagi hari, akan terlihat Matahari terbit menyembul di celah-celah bukit, sangat epik. Di Ranu Kumbolo juga terdapat toilet yang sangat sederhana (toilet kering), kalah bersih dan moderen bila dibandingkan dengan toilet yang ada di Pos V Makutoromo (toilet basah) di jalur pendakian gunung Arjuno via Purwosari, Jawa Timur.

Matahari Terbit Menyembul di Celah-celah Bukit

Tidak jauh dari toilet, tepat di samping dan depan shelter, adalah tempat para pengunjung/pendaki membuang sampah sembarangan. Siapa yang akan membawa sampah itu turun? Siapalagi kalau bukan Saver. Padahal Saver yang membriefing pendaki selalu tidak bosan berpesan, bahwa mereka (Saver) bekerja ikhlas dan tidak dibayar, karena itu tolong bayar mereka dengan membawa sampah turun kembali ke Ranu Pani.

Ranu Kumbolo adalah danau vulkanik yang seluruh airnya disucikan oleh umat Hindu Tengger. Segala perlakuan buruk atau tindakan yang berpotensi mengotori dan merusak danau, selain dapat mencemari air danau juga dinilai melecehkan kearifan lokal yang ada.

Mahameru Sampaikan Sejuk Embun Hati. Mahameru Basahi Jiwaku yang Kering. Mahameru Sadarkan Angkuhnya Manusia. 

Mahameru Puncak Abadi Para Dewa

Jangan Kotori Gunung Dengan Sampah!

LESTARIKAN BUMI! BUDAYAKAN BERSIH! MENGGAPAI JAYA BAKTI!

FOLKLOR CANE BUKTI AIRLANGGA DAN GARUḌAMUKHA BERJAYA DI BUMI JANGGALA

Cerita tutur merupakan salah satu bentuk kearifan lokal. Tradisi menuturkan peristiwa sejarah sudah lama diperkenalkan oleh leluhur kita seb...