Rabu, 11 Desember 2019

RAKRYAN PATIH MAJAPAHIT PU GAJAH MADA BERASAL DARI LAMONGAN?

Pada kisaran tahun 1870-an, J.A.B. Wiselius, seorang controleur Jawa dan Madura, mencatat dan melapor ke Pemerintah Residence dan Pusat mengenai keberadaan suku atau komunitas Modo di wilayah District Lengkir Afdelling Lamongan yang selalu mengkaitkan nama Modo dan beberapa tempat kuno di sekitarnya dengan tokoh Rakryan Patih Majapahit Pu Gajah Mada. 

Sosok diduga Gajah Mada, Sablon Kaos Produksi Oblong Majapahit, Trowulan - Mojokerto 

Laporan Wiselius tersebut merujuk pada cerita tutur atau folklore yang berkembang di masyarakat. Menurut cerita lokal masyarakat Modo, disebutkan ada banyak tempat-tempat kuno dan petilasan di sekitar wilayah Modo dan Ngimbang yang berkaitkan dengan Gajah Mada, seperti situs megalitik (punden berundak) Sitinggil di Modo dan Makam Dewi Andong Sari (makam ibunda Gajah Mada) di Gunung Ratu, Ngimbang. 

Situs Megalitik (Punden Berundak) Sitinggil di Dusun Medalem, Desa Mojorejo, Kecamatan Modo - Lamongan 

Folklore mengenai Gajah Mada tersebut tentunya bukanlah cerita baru atau Hoax hasil bualan orang zaman sekarang. Cerita tutur tersebut sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu, dan secara turun temurun terus dituturkan dari generasi ke generasi hingga kini. Perlu untuk diketahui bahwa baik cerita tutur atau folklore maupun data tekstual (prasasti atau susastra) sama-sama merupakan sumber sejarah.

Anak Tangga Menuju Makam Ibunda Gajah Mada di Gunung Ratu, Dusun Cancing, Desa Sendangrejo, Kecamatan Ngimbang - Lamongan 

Sebagai informasi, di wilayah Kecamatan Modo terdapat 4 prasasti batu yang diduga peninggalan Raja Airlangga (Raja Medang Kahuripan) atau anaknya, Mapañji Garasakan (Raja Jaṅgala Kahuripan), yakni prasasti Sambangan I & II (Lokasi Dusun Sambangan, Desa Sambanganrejo), prasasti Lebak (Lokasi Dusun Lebak, Desa Mojorejo), dan prasasti Sedah (Lokasi Dusun Sedah, Desa Pule). Perlu untuk diketahui bahwa prasasti-prasasti Airlangga di Lamongan masuk pada fase konsolidasi. Pada masa fase konsolidasi biasanya isi prasasti menjelaskan pemberian anugerah sīma kepada desa tertentu karena jasa mereka dalam membantu raja pada saat peperangan. Jadi, Joko Modo (nama kecil Gajah Mada) dibesarkan di tanah pemberani yang berstatus Sima Swatantra pada masa Airlangga. 

Prasasti Sambangan I, Lokasi Dusun Sambangan, Desa Sambanganrejo, Kecamatan Modo - Lamongan 

Sesuai dengan nama daerah dimana Gajah Mada dibesarkan, yakni Modo atau Mada. Dalam bahasa Sanskerta (India Kuno) Mada bermakna "mabuk", juga bisa bermakna "sombong". Dan, di Jawa, Mada diberi makna baru menjadi "berani". Contoh lain: Kata Mudha kalau dalam bahasa Sanskerta bermakna "bodoh", tapi di Jawa bermakna "anom".

Gajah sendiri bukan bahasa asli Nusantara, tapi dari bahasa Sanskerta. Beberapa nama Gajah lainnya dalam bahasa Sanskerta ialah:

1) Dwipāngga = dwipa + angga, artinya badan (sebesar) pulau.
2) Dwirada = dwi + rada, artinya (memiliki) dua taring (gading).
3) Hasti = dari kata "hasta", artinya "tangan". Yaitu, hewan yang memiliki tangan berwujud belalai.

Sedangkan, bahasa Jawa asli untuk menyebut Gajah adalah Liman dari kata "lima", maksudnya ialah: "hewan yang (seolah) memiliki lima kaki (4 kaki + 1 belalai)"

Jadi, Joko Modo (pemuda dari Modo), ketika berkarier di Majapahit merubah namanya menjadi Gajah Mada, yang bermakna Gajah yang berani, atau Gajah yang tidak takut mati, atau Gajah yang Heroik. Karena beliau dibesarkan atau berasal dari tanah Modo atau Mada yang bermakna "berani".

Prasasti Sambangan II, Lokasi Dusun Sambangan, Desa Sambanganrejo, Kecamatan Modo - Lamongan 

Cerita tutur mengenai Gajah Mada yang lahir di Gunung Ratu - Ngimbang dan dibesarkan di Modo, dapat dihubungkan dengan peristiwa Pemberontakan Ra Kuti. Pararaton mengisahkan:

"..Kemudian muncul peristiwa (pemberontakan) Ra Kuti. Ketika Ra Kuti belum mati, raja (Jayanagara) bermaksud diungsikan pergi ke Badander. Perginya pada waktu malam, tidak ada seorangpun yang tahu, hanya diiringi oleh pasukan Bhayangkara, semuanya yang kebetulan menjaga ketika raja pergi, ada sebanyak lima belas orang. Pada waktu itu Gajah Mada menjadi Bekel (kepala pasukan) Bhayangkara, kebetulan waktu itu mendapat tugas menjaga, itulah sebabnya dia mengiringkan raja ketika pergi. Lamalah raja di Badander.." [Sumber: Kitab Pararaton atau Naskah Katuturanira Bagian VIII - J.L.A. Brandes, 1897, Pararaton (Ken Angrok) of  Het Boek Der Koningen van Tumapěl en van MAJAPAHIT].

Prasasti Sedah, Lokasi Dusun Sedah, Desa Pule, Kecamatan Modo - Lamongan 

Terkait toponimi Baḍaṇḍĕr, di Kabupaten Jombang terdapat Dusun bernama Bedander yang masuk wilayah Desa Sumbergondang, Kecamatan Kabuh (nama Dusun pasti lebih tua dari nama Desa). Wilayah Kecamatan Kabuh - Jombang berbatasan langsung dengan wilayah Lamongan Selatan. Jadi, letak Bedander dekat dengan Gunung Ratu (Makam Ibunda Gajah Mada), dan juga dekat dengan Modo. Sehingga patut diduga, Gajah Mada mengungsikan raja Jayanagara ke Badander dengan pertimbangan penguasaan medan daerah itu, juga dukungan warga setempat, karena dekat dengan tanah kelahirannya.

Prasasti Lebak, Lokasi Dusun Lebak, Desa Mojorejo, Kecamatan Modo - Lamongan 

Tidak jauh dari Bedander, tepatnya di Dusun Grogol, Desa Katemas, Kecamatan Kudu - Jombang, terdapat prasasti batu yang diduga peninggalan Raja Airlangga, yakni Prasasti Kusambyan. Prasasti berbahan andesit dengan aksara dan bahasa Jawa Kuna ini menyebut dua lokasi penting, yaitu Kadatwan/Kedaton Maḍaṇḍĕr dan Desa Kusambyan yang dikukuhkan menjadi daerah perdikan/Sima (Sumber: Titi Surti Nastiti, Prasasti Kusambyan: Identifikasi lokasi Madander dan Kusambyan. AMERTA. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi vol 31 no 1 Juni 2013, hal 1-80). Kata Madaṇḍĕr mengingatkan kita pada daerah Baḍaṇḍĕr yang disebutkan dalam teks Pararaton. Meskipun ada perubahan nama dari Maḍaṇḍĕr ke Baḍaṇḍĕr, tetapi secara toponimi perubahan ini bisa diterima. Baḍaṇḍĕṛ adalah nama tempat pengungsian raja Jayanagara. Jadi, patut diduga bahwasanya raja Jayanagara waktu itu diungsikan di suatu tempat yang dulunya merupakan keraton/istana pada masa Airlangga. 

Prasasti Kusambyan/Grogol, Lokasi Dusun Grogol, Desa Katemas, Kecamatan Kudu - Jombang 

Dugaan bahwa Gajah Mada berasal dari Lamongan cukup beralasan, karena jarak antara Bedander dengan Gunung Ratu - Ngimbang tidaklah jauh, begitu pula dengan Modo. Suatu kebiasaan, jika ada situasi Chaos di ibu kota maka para penguasa akan berusaha menyelamatan diri ke daerah asalnya yaitu daerah dimana ia dilahirkan dan dibesarkan. Dengan pertimbangan agar mendapat dukungan dan perlindungan dari masyarakat sekitarnya, di samping juga penguasaan medan sehingga banyak membantu untuk perjuangan berikutnya.

Makam Ibunda Gajah Mada di Gunung Ratu, Dusun Cancing, Desa Sendangrejo, Kecamatan Ngimbang - Lamongan 

Di dekat makam ibunda Gajah Mada di Gunung Ratu yang berlokasi di Dusun Cancing, Desa Sendangrejo, Kecamatan Ngimbang, juga terdapat prasasti batu peninggalan Raja Airlangga, yakni Prasasti Sendangrejo 965 Çaka/1043 M yang terletak di Dusun Titing, Desa Sendangrejo, Kecamatan Ngimbang - Lamongan (Lokasi keduanya berada pada satu Desa, cuma beda Dusun). Prasasti Sendangrejo dikeluarkan oleh Raja Airlangga dengan gelar abhiseka Çri Mahãrãja Rakai Halu Çri Lokeçwara Dharmmawaṅça Airlaṅga Anãntawikramottuṅgadewa dengan Çrĩ Sanggrãmawijaya Dharmmaprasãdottunggadewa sebagai Rakryãn Mahãmantrĩ i Hino-nya.  Adalah sebuah hal yang layak dan pantas, jika seorang tokoh besar seperti Gajah Mada dilahirkan di tanah para pemberani yang berstatus Sima Swatantra pada masa Airlangga.

Prasasti Sendangrejo, Lokasi Dusun Titing, Desa Sendangrejo, Kecamatan Ngimbang - Lamongan 

Makam ibunda Gajah Mada di Gunung Ratu juga bertambah semakin spesial dengan ditemukannya Lampu Kuno era Majapahit pada tahun 1937. Lokasi temuan lampu kuno berbahan perunggu ini masuk wilayah Dusun Sawen, Desa Sendangrejo, Kecamatan Ngimbang - Lamongan, jaraknya-pun dekat dengan makam ibunda Gajah Mada (Satu Desa beda Dusun). Lampu kuno dengan atap berbentuk Meru ini memiliki tinggi 24 cm serta panjang rantai 44 cm, dan sekarang menjadi koleksi atau disimpan di Museum Nasional Jakarta dengan kode 6027. 

Menariknya, pada lampu kuno yang pernah menjadi Seri Kartu Pos terbitan Museum Royal Society of Batavia bidang Seni dan Sains (Seri D. Juli 1937) ini terdapat angka tahun 1270 Çaka/1348 M, tahun era Majapahit masa pemerintahan Dyaḥ Gĩtãrjjã Çrĩ Tribhuwanattuṅgadewĩ Jayawiṣṇuwarddanĩ, raja Majapahit ke-3. (Sumber: KITLV - Bronzen lamp uit de dertiende-vijftiende eeuw, afkomstig uit Lamongan in het Museum van het Bataviaasch Genootschap, http://media-kitlv.nl). 

Lampu Kuno Era Majapahit, Lokasi Temuan di Dusun Sawen, Desa Sendangrejo, Kecamatan Ngimbang - Lamongan 

Jika melihat tampilan dan model lampu, serta bahan lampu yang bisa dibilang mewah pada masanya itu, sehingga patut diduga jika pemilik lampu tersebut merupakan orang dalam istana, bisa raja, kerabat/keluarga raja, atau pejabat tinggi istana. Prasasti Prapancasarapura (OJO, LXXXIV) 1259 Çaka/1337 M yang di keluarkan Maharaja Çrĩ Tribhuwanattuṅgadewĩ Jayawiṣṇuwarddanĩ, menyebut jabatan Rakryan Patih saat itu dijabat oleh Pu Gajah Mada. 

Jadi, pada tahun 1270 Çaka/1348 M (angka tahun yang terdapat di Lampu Kuno), Gajah Mada saat itu statusnya adalah sebagai pejabat tinggi istana, karena masih menjabat sebagai Rakryan Patih. Perlu untuk diketahui bahwa Gajah Mada menjabat sebagai Rakryan Patih hingga masa pemerintahan Çrĩ Rãjasanagara/Hayam Wuruk, raja Majapahit ke-4. (Sumber: Prasasti Batur dan Prasasti Bendasari 1272 Çaka/1350 M). 

Karena minimnya catatan sejarah mengenai biografi Rakryan Patih Majapahit Pu Gajah Mada, pada akhirnya membuat kita hanya bisa menduga-duga dari mana sebenarnya beliau berasal, siapa ibunya, dan siapa bapaknya?.

FOLKLOR CANE BUKTI AIRLANGGA DAN GARUḌAMUKHA BERJAYA DI BUMI JANGGALA

Cerita tutur merupakan salah satu bentuk kearifan lokal. Tradisi menuturkan peristiwa sejarah sudah lama diperkenalkan oleh leluhur kita seb...