Senin, 23 September 2019

GARUḌA THE SON OF WINATĀ

In the Hindu mythology, the Garuḍa whose statues are found in great numbers is regarded as the vehicle of Vishnu. 

Arca Garuḍa yang berfungsi sebagai pancuran air (Jaladwara berbentuk Garuḍa) ini terbilang unik dan langka. Pertama, karena kondisinya masih insitu dan ditemukan menempel pada dinding bagian Barat Pathirtan Sumber Beji (Sumber Beji, Kesamben, Ngoro, Jombang) posisi sebelah kanan. Kedua, pada kepala Garuḍa yang menghadap ke kiri ini terdapat mahkota atau hiasan bermotif Tengkorak (Tengkorak identik Bhairawa?). 

Arca Garuḍa yang Berfungsi Sebagai Pancuran air 

Selebihnya bisa ditafsirkan sebagai adegan dalam cerita Garuḍeya. Seperti pada tangan kanan Garuḍa yang terlihat mencengkeram leher ular yang kepalanya menempel di lengan kanan anak Sang Winata ini, sedangkan bagian tubuh lainnya si ular terlihat melilit dipergelangan tangan kanan sang Garuḍa. 

Penulis Blog Foto di Samping Garuḍa 

Tangan kirinya membawa Kendi Kamaṇḍalu atau Bejana berbentuk bulat yang berisi tirtha amŗta sebagai syarat untuk menebus kebebasan ibunya, Sang Winata. Dan, kaki kirinya terlihat mencengkeram erat dan menginjak badan ular yang kedua. Tidak hanya itu, ekor si ular tersebut juga diganjal dengan lutut kaki kanan sang Garuḍa. Kedua ular yang dicengkeram tersebut merupakan anak Sang Kadru. 

Kisah Garuḍeya ini berasal dari cerita Samudramanthana atau dikenal pula dengan nama Amŗtamanthana yang merupakan salah satu episode dalam wiracarita Mahabarata, yaitu Ādiparwa. 

Senin, 16 September 2019

MAKAM LELUHUR MENTERI LUAR NEGERI BELANDA, STEFANUS ABRAHAM BLOK

Di Waduk Prijetan/Krekah, Kedungpring - Lamongan terdapat sebuah makam Belanda, warga setempat menyebutnya makam Tuan Bligoor atau makam Londo Ireng. Menurut warga, Tuan Bligoor dulunya merupakan seorang petugas kontrol di Waduk Prijetan. Beliau mengabdi hingga akhir hayatnya, dan dimakamkan di area Waduk. Pada nisan makamnya tertulis nama JF A Dligoor yang lahir (GEB = Geboren) pada tahun 1860, dan meninggal (OVERL = Overleyen) pada tahun 1930. 

Makam Tuan Bligoor atau Makam Londo Ireng 

Makam Belanda, JF A Dligoor 

Dalam dokumen mengenai pembangunan Waduk Prijetan (dibangun tahun 1909 dan selesai serta diresmikan tahun 1917) disebutkan ada 4 insinyur yang terlibat dalam merancang serta membangun Waduk ini, mereka adalah Tuan Birman, Tuan Delos, Tuan Trong, dan Tuan Dliger. Nama terakhir dari keempat insinyur tersebut ada kemiripan dengan nama di nisan makam, yakni Dliger dengan Dligoor. Dan, Tuan Dliger sendiri diduga merupakan buyut dari Menteri Luar Negeri Belanda, Stefanus Abraham Blok. 

Minggu, 08 September 2019

LAMPU KUNO ERA MAJAPAHIT ASAL NGIMBANG - LAMONGAN

Bronzen lamp uit de veertiende-vijftiende eeuw, afkomstig uit Lamongan in het Museum van het Bataviaasch Genootschap. Prentbriefkaart uitgegeven door het Museum van het Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Serie D. Juli 1937). {sumber: http://media-kitlv.nl} . 

Foto Lampu Koleksi KITLV Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies, Published: 1937. 

Lokasi temuan lampu kuno berbahan perunggu ini secara administrasi masuk dalam wilayah Dusun Sawen, Desa Sendangrejo, Ngimbang - Lamongan. Lampu kuno era Majapahit ini ditemukan di dalam sebuah kendogo (bejana), semacam periuk nasi pada tahun 1937. Lampu kuno dengan atap berbentuk Meru ini memiliki tinggi 24 cm serta panjang rantai 44 cm, dan sekarang menjadi koleksi atau disimpan di Museum Nasional Jakarta dengan kode 6027. 

Menariknya, pada lampu kuno yang pernah menjadi Seri Kartu Pos terbitan Museum Royal Society of Batavia bidang Seni dan Sains (Seri D. Juli 1937) ini terdapat angka tahun 1270 Çaka/1348 M, era Majapahit masa pemerintahan Dyaḥ Gĩtãrjjã Çrĩ Tribhuwanottuṅgadewĩ Jayawiṣṇuwarddanĩ (Bhreng Kahuripan II). Ratu Tribhuwana Tunggadewi merupakan penguasa wanita pertama (raja wanita pertama) dalam catatan sejarah Kerajaan Majapahit, tepatnya raja Majapahit ke-3 (1328-1350 M). 

Tidak jauh dari lokasi temuan lampu kuno ini terdapat makam ibunda Gajah Mada, yakni makam Dewi Andong Sari di Gunung Ratu, Ngimbang - Lamongan. Jika melihat tampilan dan model lampu yang bisa dibilang mewah pada masanya itu, patut diduga jika pemilik lampu tersebut merupakan orang dalam istana, bisa kerabat atau keluarga raja. 

Sabtu, 07 September 2019

PRASASTI BUTULAN

Prasasti Butulan secara administratif terletak di Desa Gosari, Kecamatan Ujung Pangkah, Kabupaten Gresik. Isi prasasti yang terpahat di dinding Goa bunyinya sebagai berikut:

"Diwasani ngambal 1298 duk winahon denira San(g) Rama Samadya makadi siri Buyut Arjah Talikur si raka durahana"

"Pada tahun 1298 Çaka/1376 M di ambal waktu itu didiami oleh San(g) Rama Samadya Buyut Arjah Talikur yang tersingkirkan"

Prasasti Butulan yang Terpahat di Dinding Goa

"Ada saatnya dalam hidupmu, engkau ingin sendiri saja bersama angin, menceritakan seluruh rahasia, lalu meneteskan air mata." (Bung Karno)

Pelajaran yang bisa kita petik: Orang zaman dulu kalau lagi sakit hati akibat disingkirkan, pelariannya ya ke atas Gunung atau di dalam Goa untuk menenangkan diri sambil mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Beda dengan orang zaman sekarang, Ampuunnn.. Nyinyirnya itu lho nggak ketulungan, Nyinyir kok terus terusan. Hahahahahaha.. 

MEGALIETEN TE MODO BIJ LAMONGAN

Situs megalitik ini secara administrasi terletak di Desa Mojorejo, Kecamatan Modo, Kabupaten Lamongan. Peninggalan masa lampau berupa tatanan batu alami berbentuk punden berundak ini oleh masyarakat sekitar dikenal dengan nama Sitinggil (Siti artinya tanah dan Inggil artinya tinggi). Jika diamati, situs megalitik Sitinggil ini hampir mirip seperti candi Pendawa yang ada di gunung Pawitra/Penanggungan. Perlu untuk diketahui bahwa percandian yang ditemukan di gunung Penanggungan mayoritas berbentuk punden berundak, yang mana bentuk bangunan ini merupakan bentuk bangunan budaya megalitikum asli lokal dengan puncaknya berupa altar dan kemuncak. 

Foto Sitinggil Koleksi KITLV Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies, Published Between 1941 and 1953. 

Pada kisaran tahun 1870-an, J.A.B. Wiselius, seorang controleur Jawa dan Madura, mencatat dan melapor ke Pemerintah Residence dan Pusat mengenai keberadaan suku atau komunitas Modo di wilayah District Lengkir Afdelling Lamongan yang selalu mengkaitkan nama Modo dan beberapa tempat kuno di sekitarnya dengan tokoh Mahapatih Gajah Mada. 

Foto Sitinggil Tahun 2017 Koleksi Pribadi Penulis Blog

Laporan Wiselius tersebut merujuk pada cerita tutur/folklore yang berkembang di sana. Menurut cerita lokal masyarakat Modo disebutkan ada banyak tempat-tempat kuno dan petilasan di sekitar wilayah Modo dan Ngimbang yang berkaitkan dengan Gajah Mada, seperti situs megalitik Sitinggil di Modo dan Makam Dewi Andong Sari (makam ibunda Gajah Mada) di Gunung Ratu, Ngimbang.

Menurut cerita tutur, dahulu sewaktu Gajah Mada masih kecil sering melihat iring-iringan pasukan kerajaan Majapahit dari atas bangunan punden berundak Sitinggil, ketika sedang menggembala kerbau. Situs megalitik Sitinggil posisinya memang cukup tinggi, karena itu Joko Modo (pemuda dari Modo, nama Gajah Mada sewaktu masih kecil) bersama teman-temannya selalu memantau kerbau-kerbau peliharaan mereka dari atasnya. 

Folklore mengenai Gajah Mada tersebut tentunya bukanlah cerita baru atau Hoax hasil bualan orang jaman sekarang. Cerita tutur tersebut sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu, dan secara turun temurun terus dituturkan dari generasi ke generasi. Perlu untuk diketahui bahwa baik cerita tutur/folklore maupun data tekstual (prasasti atau susastra) sama-sama merupakan sumber sejarah.  

Jumat, 06 September 2019

DE RIVIER VAN SOLO, IN HET DISTRICT VAN LAMONGAN - EILD JAVA

Gezicht op de rivier de Solo, op de grens van het district Lamongan. Op het middenplan de slingerende rivier, bevaren door vissersscheepjes met bamboe latijnzeil en met begroeide en bebouwde oevers op de achtergrond. Op de voorgrond links een inheemse regent met gevolg en (vermoedelijk) Ver Huell. (Sumber: http://maritiemdigitaal.nl/index.cfm?event=search.getdetail&id=100161263

Lukisan Bengawan Solo di wilayah Lamongan ini menggambarkan keindahan pemandangan Bengawan Solo waktu itu. Di dalam sungai yang bentuknya digambarkan berkelok-kelok ini terlihat beberapa nelayan sedang berlayar mengarungi arusnya dengan menggunakan perahu kecil dan sampan bambu. Sungai terpanjang di pulau Jawa ini juga tampak sejuk karena di sepanjang tepi sungainya ditumbuhi banyak tanaman dan pepohonan. 

Dalam lukisan tersebut digambarkan pula penguasa setempat (Bupati) beserta para pengawalnya, dan (mungkin) Ver Huell sedang berdiri di pinggir sungai. Lukisan karya Ver Huell ini dibuat sekitar tahun 1820-1835, dan sekarang disimpan di Maritiem Museum Rotterdam - Belanda.

Lukisan Bengawan Solo di wilayah Lamongan Karya Ver Huell 

Seperti diketahui bahwa Lamongan dianugerahi dua sungai besar yang membujur dari Barat ke Timur. Kedua sungai itu yakni, Bengawan Solo beserta anak sungainya (Bengawan Njero) yang membelah bagian Tengah dan Utara Lamongan, dan Sungai/Kali Lamong yang membujur di wilayah Selatan. Kedua sungai tersebut menjadi urat nadi perekonomian pada zaman dulu, di saat moda transportasi masyarakat masih bergantung pada transportasi air (perahu/kapal), dan sungai sebagai jalur utamanya. Jadi, pada masa itu sungai menjadi satu-satunya penghubung sosial-budaya dan ekonomi masyarakat, mengingat masih sulitnya transportasi darat. 

Berdasarkan sumber data tekstual, nama Bengawan Solo beserta desa-desa di tepian sungainya telah disebut dalam Prasasti Canggu atau Ferry Charter 1280 Çaka/1358 Masehi (07 Juli 1358). Prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Hayam Wuruk (Çrĩ Rãjasanagara) tersebut menyebut puluhan desa atau deretan desa (Pradesa) di sepanjang tepi bengawan (Naditira), yakni Bengawan Solo dan Sungai Brantas beserta anak-anak sungainya, yang ditetapkan sebagai desa perdikan (sima) atau mendapat anugerah status istimewa (sima) berkat jasanya dalam penyeberangan sungai (penambangan).  

Berikut nama-nama desa di Lamongan yang berstatus Naditira Pradesa berdasarkan Prasasti Canggu/Ferry Charter (1280 Çaka/1358 M) [sumber: Muhammad Yamin, Tatanegara Majapahit - Parwa II, hlm. 99] :
"...muwaḥ prakãraning naditira pradeça sthananing anãmbangi i maḍantĕn . i waringin wok . i bajrapura . i sambo . i jerebeng . i pabulangan . i balawi . i luwayu . i katapang . i pagaran . i kamudi . i parijik . i parung . i pasiwuran . i kĕḍal . i bhangkal . i wiḍang..."

FOLKLOR CANE BUKTI AIRLANGGA DAN GARUḌAMUKHA BERJAYA DI BUMI JANGGALA

Cerita tutur merupakan salah satu bentuk kearifan lokal. Tradisi menuturkan peristiwa sejarah sudah lama diperkenalkan oleh leluhur kita seb...