Jumat, 05 November 2021

FOLKLOR CANE BUKTI AIRLANGGA DAN GARUḌAMUKHA BERJAYA DI BUMI JANGGALA

Cerita tutur merupakan salah satu bentuk kearifan lokal. Tradisi menuturkan peristiwa sejarah sudah lama diperkenalkan oleh leluhur kita sebagai sebuah bentuk kekayaan budaya. Oleh karenanya, cerita tutur atau folklor yang disampaikan oleh kakek nenek kita, maupun para sesepuh atau pinisepuh, itu sudah ada sejak dahulu kala, dan secara turun temurun terus dituturkan dari generasi ke generasi hingga kini. Oleh karenanya, sumber sejarah tidak hanya bersumber dari data tekstual seperti prasasti maupun susastra, sebab cerita tutur juga termasuk di dalamnya.

Masyarakat Cane (Candisari, Sambeng, Lamongan) hingga kini masih mempertahankan dan melestarikan tradisi tuturnya. Istimewanya, Cane mempunyai cerita tutur mengenai raja Airlangga. Tentunya hal ini semakin memperkuat bukti bahwa prasasti Cane memang berasal dari sana. Prasasti Cane (943 Çaka/27 Oktober 1021 M) dikeluarkan oleh raja Airlangga dengan gelar abhiseka Çri Mahãrãja Rakai Halu Çri Lokeçwara Dharmmawangça Airlangga Anãntawikramottunggadewa, dengan Çrĩ Sanggrãmawijaya Dharmmaprasãdottunggadewi sebagai Rakryãn Mahãmantrĩ i Hino untuk pertama kalinya.

Foto Bersama Batu Prasasti Berukir Garuḍamukha Untuk Peringatan 1000 Tahun Lahirnya Prasasti Cane Di Bhumi Lamongan.  

Prasasti yang dibubuhi tanda kerajaan Garuḍamukha ini merupakan prasasti pertama pada masa pemerintahan raja Airlangga. Meskipun ada versi lain yang mengatakan bahwa prasasti Silet (940 Çaka) adalah yang tertua. Akan tetapi, bila merujuk pada transkrip Stutterheim di TBG 80, 1940:361, juga transkrip Damais di EEI IV 1955, 47 halaman 233-234, di prasasti Silet tidak ditemukan nama Airlangga maupun kata tinaṇḍa Garuḍamukha. Prasasti Cane berisi tentang pemberian anugerah status sima kepada desa Cane atas dasar rasa simpati raja kepada rakyat Cane yang bersedia menjadikan desa mereka sebagai penepi kulwan atau benteng tepi Barat dari batas kerajaan Airlangga. Prasasti yang disimpan di museum Nasional dengan nomer koleksi D 25 ini masuk pada fase konsolidasi, yakni fase dimana pemberian anugerah sima kepada desa tertentu karena jasa masyarakatnya dalam membantu raja pada saat peperangan.

Menurut folklor atau cerita tutur masyarakat Cane, dikisahkan bahwasanya Airlangga adalah seorang Lelono (pengembara). Di suatu hari dalam pengembaraannya, Airlangga pergi menyebrangi sungai Brantas untuk menuju desa Cane. Dalam perjalanan ke Cane waktu itu, diceritakan pula Airlangga melewati sungai yang bernama Dung Bedes. Ketika sedang melewati sungai Dung Bedes, Airlangga dibuat terperangah oleh sosok gadis cantik bak bidadari yang dijumpainya saat sedang mandi. Perempuan ayu itu adalah seorang kembang desa dari Cane yang bernama Puniti, dan jatuh cintalah Airlangga.

Akhirnya, Airlangga mempersunting Puniti dan menjadikannya sebagai istri selir yang pertama. Dari pernikahannya dengan Puniti, Airlangga dikaruniai seorang anak laki-laki bernama Panji Garasakan (Mapañji Garasakan). Airlanggapun menjalani kehidupan bahagia di Cane. Berikutnya, ketika sang anak berusia 12 tahun, Airlangga meninggalkannya untuk pergi ke Kediri. Singkat cerita, setelah beranjak dewasa, Panji Garasakan hijrah ke Kediri untuk mencari ayahnya. Sesampainya di Kediri, Panji Garasakan melamar sebagai prajurit istana. Karena istana tahu bahwa dia adalah anak Airlangga, maka Panji Garasakan pun langsung diterima dan diberi jabatan tinggi.

Kegiatan Jambore Garuḍamukha Untuk Peringatan 1000 Tahun Lahirnya Prasasti Cane Di Bhumi Lamongan.  

Folklor Cane tersebut memberikan keterangan penting bahwa Mapañji Garasakan dan Garuḍamukha sama-sama terlahir di bumi Janggala, yakni Cane (Lamongan). Mungkin inilah jawaban mengapa seluruh prasasti yang dikeluarkan oleh raja-raja Janggala didalamnya terdapat tanda kerajaan Garuḍamukha (Lambang/Cap Kerajaan Airlangga). Cerita tutur dari Cane juga menjawab teka teki mengenai berita dalam prasasti Garamãn (975 Çaka/1053 M) perihal penyebutan Hãji Panjalu sebagai kakak oleh Mapañji Garasakan. Seperti yang terberitakan pada lempeng ke-2 baris ke-5 recto: "..mapalaha lan kaka nirã Hãji Panjalu.." ; "..menyerang kakak beliau (yaitu) Hãji Panjalu..". Mengingat dalam versi cerita tutur Cane disebutkan bahwa Mapañji Garasakan (raja Janggala) adalah anak laki-laki Airlangga dengan istri selir yang pertama (istri muda), maka wajar bila usianya lebih muda dari Hãji Panjalu. Disini bisa diasumsikan bahwa Hãji Panjalu (raja Panjalu) adalah anak Airlangga dengan permaisuri (istri tua).

Dalam Sêrat Calon Arang juga disebutkan bahwa Airlangga mempunyai dua anak laki-laki yang sama-sama disayanginya. Oleh karenanya Airlangga akhirnya mengutus Pu Bharadah untuk membagi kerajaannya (Medang Kahuripan) menjadi dua, yakni Janggala dan Panjalu pada tahun 974 Çaka/1052 M. Berita tentang terbaginya kerajaan Airlangga terdapat pada prasasti Truneng/Turun Hyang B (verso) 976 Çaka/1054 M, prasasti Wurare 1211 Çaka/21 November 1289 M, Kitab Calon Arang, serta Kakawin Nãgarakṛtãgama. Kakawin Nãgarakṛtãgama pupuh 68 mengisahkan: "dengan menuangkan (air=4) kendi dari langit (Pu=7) Bharãda (membagi=9) kerajaan Airlangga" [Hinzler 1979 : 483].

Panitia Jambore Garuḍamukha Foto Bersama Bapak Bupati Lamongan.  

Nampaknya, kebijakan Airlangga untuk membagi dua kerajaannya merupakan sebuah keputusan yang salah. Sebab, setelah kerajaan Airlangga terbagi menjadi Janggala dan Panjalu, perseteruan antara keduanya seakan tak pernah sirna. Entah faktor apa yang mendasari perebutan hegemoni antar kedua kerajaan bersaudara itu. Sejarah mencatat, selain prasasti Garamãn 975 Çaka/1053 M (Janggala), perang saudara antara Mapañji Garasakan dengan Hãji Panjalu juga terberitakan dalam prasasti Truneng/Turun Hyang B (verso) 976 Çaka/1054 M (Janggala). Mengutip apa yang pernah disampaikan oleh Bung Karno bahwa "yang paling penting dari belajar sejarah adalah belajar dari sejarah, warisilah apinya bukan abunya". Kita sebagai generasi penerus bangsa yang melek sejarah harus bisa belajar dari sejarah, agar perpecahan, konflik, dan perang saudara bisa terhindar dari bumi Indonesia.

Warisilah apinya bukan abunya. Mari kita warisi semangat juang Airlangga yang mampu membangun kembali negaranya dari kehancur leburan akibat peristiwa Mahapralaya, hingga bisa membawa Jawa di puncak kedigdayaannya. Sejarah mencatat, Airlangga mampu memanfaatkan peluang dan berkontribusi positif dalam konstelasi politik perdagangan dunia. Sehingga, dia bisa meraih momentum dan membawa kerajaannya untuk ikut serta dalam Kancah perdagangan International. Bukti Airlangga sukses dalam percaturan dunia terberitakan dalam prasasti Cane yang menyebut adanya bangsa asing yang dikenai pajak (wārggā kilalān):
"..i kanaŋ wārggā kilalān kliŋ āryyā sińhala paņdikira dravida campa kmir rĕmĕn..".
"..adalah wargga kilalan (warga yang dikenai pajak khusus) yaitu klin (keling) aryya (arya) sinhala (Srilangka) pandikira (Pandikira dari India) drawida (salah satu suku dari India) campa (Vietnam) kmir (Khmer) remen (atau Mon adalah salah satu suku dari Burma)..". 

Foto Bersama Maestro Pahat Patung Trowulan, Pemahat Batu Prasasti Berukir Garuḍamukha Untuk Peringatan 1000 Tahun Lahirnya Prasasti Cane Di Bhumi Lamongan.  

Adanya penyebutan bangsa asing di prasasti Cane, menunjukkan bahwa kerajaan Airlangga pada masa itu telah menjalin hubungan ekonomi, politik, sosial, dan budaya dengan bangsa-bangsa dari Asia Selatan maupun Asia Tenggara. Hal inilah yang mendasari Poerbatjaraka menjadikan Garuḍamukha di prasasti Cane sebagai inspirasi untuk dijadikan lambang negara Indonesia, yakni burung Garuḍa. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FOLKLOR CANE BUKTI AIRLANGGA DAN GARUḌAMUKHA BERJAYA DI BUMI JANGGALA

Cerita tutur merupakan salah satu bentuk kearifan lokal. Tradisi menuturkan peristiwa sejarah sudah lama diperkenalkan oleh leluhur kita seb...