Kamis, 05 Januari 2017

TIRTHAYATRA UNTUK MENGGAPAI PUNCAK NIRWANA

Air adalah penopang peradaban, dan ketersediaannya tidak mungkin bertahan tanpa adanya hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam. Kesadaran untuk melestarikan air nampaknya telah diaplikasikan dalam kehidupan para pendahulu kita. Bagi leluhur Jawa, air begitu berharga dan disucikan. Lantaran urgen, maka air disucikan. Dengan mensucikan air, maka urgensinya bagi keberlangsungan hidup makhluk hidup akan lebih terjaga. Mata air atau sumber air yang disucikan bukan hanya yang terdapat pada Patirthan/Sendang atau Telaga yang berada di kaki gunung dan dataran rendah saja, tetapi danau di atas gunung pun juga ikut disucikan, seperti halnya pada danau dingin berselimut kabut Ranu Kumbolo.

Danau Dingin Berselimut Kabut Ranu Kumbolo

Siapa yang tidak kenal Ranu Kumbolo?. Danau super cantik dengan altitude 2400 mdpl, dan bersuhu minimal -5 - -20°C ini berada di gunung Semeru, Jawa Timur. Foto-foto tentang keindahan Ranu Kumbolo mendominasi dibanyak akun Instagram Komunitas Pecinta Alam/Pendaki Gunung. Wajar saja, karena Ranu Kumbolo bak serpihan Surga. Ya, harus diakui, bahwa keindahan dan kecantikannya bukan hanya menghipnotis mata, tapi juga hati.

Kecantikan Telaga Suci Ranu Kumbolo yang Menghipnotis Mata dan Juga Hati

Air suci di telaga yang mempunyai luas 15 Ha ini jika dilihat dari atas bukit, berwarna biru bercampur kehijauan, sangat memanjakan mata yang melihatnya. Bukan hanya itu, telaga yang menjadi Surganya para pendaki gunung Semeru ini juga memberikan beberapa suguhan yang bisa menghipnotis mata dan juga hati. Seperti pada saat melihat Matahari terbit menyembul dengan diiringi pancaran sinarnya yang menembus celah-celah dua buah bukit. Serta pemandangan kabut yang selalu datang menyelimuti permukaan danau suci nan menawan hati ini. Sungguh suguhan yang benar-benar menakjubkan dan menentramkan jiwa.

Matahari Terbit Menyembul Dengan Diiringi Pancaran Sinarnya yang Menembus Celah-Celah Bukit

Telaga Suci yang Menentramkan Hati

Ranu Kumbolo atau Gembolo disebut danau suci karena seluruh airnya yang super dingin itu suci dan menyucikan. Disebut suci dan menyucikan karena airnya benar-benar jernih, bersih, dan layak minum. Seluruh air yang berada di danau ini juga disucikan oleh umat Hindu Tengger untuk upacara keagamaan. Oleh karena itu, untuk menjaga agar seluruh air danau tetap terjamin kesucian, kebersihan, dan kelestariannya, maka belakangan ini para pendaki diwajibkan ikut briefing Sahabat Volunteer Semeru (Saver).

Danau Suci Ranu Kumbolo Surganya Para Pendaki Gunung Semeru

Menurut kepercayaan orang Hindu Tengger, air suci Ranu Kumbolo adalah air suci yang letaknya tertinggi kedua setelah Sumber Mani di Pos Kalimati, Semeru (altitude 2700 mdpl). Sedikit saya akan membahas air suci Sumber Mani yang keluar dari celah tebing di bekas jalur lahar. Lokasinya agak jauh dari Pos Kalimati, sekitar setengah jam perjalanan. Sesuai dengan namanya Sumber Mani, Mani adalah bahasa Jawa dari Sperma yang merupakan awal mula adanya kehidupan. Oleh karena itu, Sumber Mani adalah sumber air suci pertama yang letaknya paling tinggi, kemudian turun ke Ranu Kumbolo, Ranu Pani, Ranu Regulo, Watu Klosot, dan terakhir di Selokambang. 

Air Suci Sumber Mani
                    
Sebagai air suci dan menyucikan, maka seluruh air yang berada di Ranu Kumbolo terlarang untuk dikotori. Tidak boleh mandi di danau!. Tidak boleh mencuci apapun langsung ke dalam danau!. Mencuci muka, tangan, kaki atau berwudhu saja harus mengambil air dengan wadah lalu dibawa ke pinggir danau. Jangan sungkan untuk menegur pengunjung/pendaki yang belum tahu atau bandel dengan mencelupkan tangan atau kaki ke dalam danau.

Danau Suci Ranu Kumbolo yang Selalu Ramai Disinggahi Para Pendaki

Bukti yang menerangkan bahwa sejak zaman dulu (masa klasik) seluruh air yang berada di Ranu Kumbolo disakralkan atau disucikan (suci dan menyucikan) terdapat pada sebuah prasasti yang berada di tepi danau. Prasasti berbahan andesit tersebut menghadap ke danau dengan tulisan membelakangi danau. Pada prasasti tersebut terdapat tulisan singkat: 'Ling Dēvã Pu Kamęçwarã Tirthayatrã'.  Oleh sejumlah arkeolog dan sejarawan, prasasti tersebut diduga dikeluarkan oleh raja Kameswara,  raja dari kerajaan Khadiri. Menurut sejarawan M. Sukarto Atmojo, tulisan singkat tersebut dapat diartikan bahwa, ketika itu Prabu Kameswara pernah melakukan kunjungan suci dengan mendaki gunung Semeru. Tahun pembuatan Prasasti, masih menurut sang sejarawan, berkisar pada tahun 1182 M. Prabu Kameswara adalah seorang raja dari kerajaan Kadhiri. Dia memerintah sekitar tahun 1182-1188 M, dengan gelar abhiseka Çrĩ Maharaja Çrĩ Kameswara Triwikramawatara Aniwariwirya Anindhita Digjaya Uttunggadewa.

Prasasti Ranu Kumbolo

Sedangkan menurut arkeolog Universitas Negeri Malang, M. Dwi Cahyono, Kata 'Yatra' yang terukir di prasasti mempunyai arti perjalanan spiritual (perjalanan suci). Sehingga, dapat diartikan perjalanan spiritual menuju 'Tirtha' atau air suci (Ranu Kumbolo), atau bisa juga diartikan perjalanan spiritual menuju air suci. Sebelum kata 'Tirthayatra', ada nama 'Kameswara', dan sebelum nama ini juga tertulis 'Deva Pu Kameswara'. Sejumlah sejarawan dan arkeolog menurutnya, merujuk kepada Kameswara yang merupakan Raja Khadiri.

Foto Bersama Bapak IN-DWI-ANA JONES (M. Dwi Cahyono) 

Pendapat ini dinilainya terlalu dini atau belum sepenuhnya benar karena beberapa alasan, yang pertama, tulisan di dalam prasasti partikelnya (honorifix prefix) tidak lazim digunakan untuk seorang raja karena menggunakan kata 'Deva Pu'. Kata ini, oleh Dwi Cahyono jelas merujuk kepada Rohaniawan, bukan Raja. Kalau raja biasanya menggunakan kata 'Çrĩ' atau gelar lainnya yang lazim digunakan untuk raja.

Selanjutnya yang kedua, secara geografis gunung Semeru dengan wilayah Kediri jaraknya cukup jauh, dan waktu itu ditempuh dengan menggunakan transportasi yang sederhana. Selain itu, untuk melakukan 'Yatra' atau perjalanan spiritual di sekitar Kediri juga ada gunung seperti Wilis atau Kelud.

Pertimbangan yang ketiga, aksara yang tertulis di prasasti Ranu Kumbolo ada kemiripan dengan prasasti-prasasti yang ditemukan di Semeru bagian Selatan, mulai Ampelgading - Malang, hingga Senduro - Lumajang. Aksara di Selatan Semeru itu dibuat pada masa kejayaan Majapahit hingga masa akhir Kerajaan Majapahit antara abad 14-15 Masehi.

Foto di Samping Prasasti Ranu Kumbolo

Adanya prasasti di Ranu Kumbolo menandakan bahwa pada abad 14-15 Masehi sudah ada pendakian-pendakian suci atau perjalanan spiritual ke gunung Semeru. Perjalanan mencari air suci memang lazim dilakukan oleh para Rohaniawan pada masa Majapahit, seperti yang pernah dilakukan Raja Hayam Wuruk yang mencari air suci di wilayah kekuasaannya. Perjalanan Hayam Wuruk ke Sumber Wendit, Sumberawan, dan Telaga Biru yang berada di wilayah Malang ini direkam oleh mPu Prapanca dalam kitabnya Nãgarakṛtãgama atau Deçawarṇana.

Candi Sumberawan

Dwi Cahyono menyebut, air suci yang disakralkan di Ranu Kumbolo ini berbeda dengan di tempat-tempat lainnya, seperti telaga atau patirthan/sendang yang pensakralannya hanya berada di titik mata airnya atau di titik-titik tertentu saja. Sedangkan di Ranu Kumbolo, seluruh airnya yang berada di danau itu disakralkan dan dianggap suci. Kata 'Ranu' sendiri identik dengan penyebutan 'cekungan yang terisi air'. Istilah ini hanya digunakan di wilayah Jawa Timur bagian Timur.

Telaga Suci nan Eksotis

Dan, masih menurut sang arkeolog, Ranu Kumbolo bukanlah akhir dari 'Yatra' yang dilakukan, tapi puncak 'Meru' lah yang menjadi tujuan utama dari 'Yatra' tersebut. Sebab, gunung Semeru dianggap sebagai gunung suci karena diidentikkan dengan puncak Meru di Himalaya yang disakralkan sebagai 'Nirwana' tempat para Dewa. Sehingga, Ranu Kumbolo hanya dijadikan tempat singgah atau istilahnya 'Satra', dan di Bali dibaca 'Satre'. Satre tidak hanya berarti singgah saja, tapi juga ada ritual atau ibadah. Karena itu, Dwi Cahyono yakin di Ranu Kumbolo dulu ada semacam bangunan seperti Altar atau bangunan suci yang digunakan untuk beribadah.

Perjalanan ke Mahameru ini juga seperti digambarkan dalam kisah Mahabarata yang dilakukan oleh para Pandawa dan orang-orang yang selamat setelah perang saudara. Dalam perjalan yang berat ini banyak yang meninggal, dan hanya Yudhistira beserta anjingnya saja yang bisa menggapai puncak Nirwana.

Summit Attack/Perjalanan Menuju Puncak Mahameru

Dwi Cahyono juga memperkuat pendapatnya tentang perjalanan yang berat ke Mahameru dengan menafsirkan relief di Candi Jajaghu atau Candi Jago di Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang. Ada relief di candi ini yang menurutnya merupakan gambar Kunjarakarna atau percabangan jalan. Percabangan jalan ini yang satu berbentuk lurus, dan yang satunya lagi berkelok-kelok dan mendaki.

Candi Jajaghu/Candi Jago

Gambaran jalan yang berkelok-kelok dan mendaki di relief Candi Jago ini ditafsirkan Dwi Cahyono sebagai perjalanan menuju Mahameru yang merupakan tempat para Dewa atau Surga. Sehingga titik akhir dari 'Yatra' yang dilakukan oleh Pu Kameswara adalah puncak Mahameru atau Nirwana. Dan, cabang jalan yang lurus ditafsirkan perjalanan menuju Neraka. [Sumber: https://www.terakota.id/kisah-pendakian-kuna-semeru/]

Puncak Mahameru/Nirwana

Negeri di Atas Awan (Puncak Mahameru) 

Pada sisi Barat dan Utara Ranu Kumbolo terdapat area yang cukup luas untuk mendirikan tenda. Dari sini, terutama di pagi hari, akan terlihat Matahari terbit menyembul di celah-celah bukit, sangat epik. Di Ranu Kumbolo juga terdapat toilet yang sangat sederhana (toilet kering), kalah bersih dan moderen bila dibandingkan dengan toilet yang ada di Pos V Makutoromo (toilet basah) di jalur pendakian gunung Arjuno via Purwosari, Jawa Timur.

Matahari Terbit Menyembul di Celah-celah Bukit

Tidak jauh dari toilet, tepat di samping dan depan shelter, adalah tempat para pengunjung/pendaki membuang sampah sembarangan. Siapa yang akan membawa sampah itu turun? Siapalagi kalau bukan Saver. Padahal Saver yang membriefing pendaki selalu tidak bosan berpesan, bahwa mereka (Saver) bekerja ikhlas dan tidak dibayar, karena itu tolong bayar mereka dengan membawa sampah turun kembali ke Ranu Pani.

Ranu Kumbolo adalah danau vulkanik yang seluruh airnya disucikan oleh umat Hindu Tengger. Segala perlakuan buruk atau tindakan yang berpotensi mengotori dan merusak danau, selain dapat mencemari air danau juga dinilai melecehkan kearifan lokal yang ada.

Mahameru Sampaikan Sejuk Embun Hati. Mahameru Basahi Jiwaku yang Kering. Mahameru Sadarkan Angkuhnya Manusia. 

Mahameru Puncak Abadi Para Dewa

Jangan Kotori Gunung Dengan Sampah!

LESTARIKAN BUMI! BUDAYAKAN BERSIH! MENGGAPAI JAYA BAKTI!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FOLKLOR CANE BUKTI AIRLANGGA DAN GARUḌAMUKHA BERJAYA DI BUMI JANGGALA

Cerita tutur merupakan salah satu bentuk kearifan lokal. Tradisi menuturkan peristiwa sejarah sudah lama diperkenalkan oleh leluhur kita seb...