Candi Slumpang secara administratif terletak di Desa Siser, Kecamatan Laren, Kabupaten Lamongan, tepatnya berada di tepi sisi Utara Bengawan Solo. Posisinya tidak jauh dari tempat penyeberangan sungai (penambangan), jaraknya kurang lebih 600 meter dari lokasi penambangan yang menghubungkan antara Desa Mojoasem - Laren dengan Desa Siwuran (Pasiwuran) - Maduran. Bahkan, jika ditarik garis lurus, posisi candi Slumpang bisa dibilang hampir sejajar dengan lokasi penambangan. Candi yang hampir seluruh bagian tubuhnya tenggelam tergenang air ini, berdiri di tengah area persawahan yang subur dan luas.
Penambangan (Penyeberangan Sungai) Bengawan Solo |
Candi Slumpang dibangun di area rawan banjir akibat luapan air Bengawan Solo. Lumpur yang terbawa saat banjir pada akhirnya mengendap, dan endapan lumpur tersebut akan terus meninggi akibat banjir yang terus berulang hingga ratusan tahun lamanya. Inilah yang membuat candi Slumpang akhirnya terkubur di dalam tanah. Karena tergenang air, candi yang berbahan batu bata merah dan batu kapur ini hanya menampakkan 2 buah Yoni, satu Yoni berbahan batu andesit dan yang satunya lagi berbahan batu kapur (lime stone). Yoni yang terlihat utuh menyembul di atas permukaan air adalah yoni dari bahan batu andesit. Karena bentuk yoni (di tengah yoni terdapat lubang untuk menanamkan lingga) yang ceratnya patah itu terlihat menyerupai lumpang, alat penumbuk padi tradisional, maka dari itu warga sekitar menamai candi ini dengan nama candi Slumpang. Di samping atas candi terdapat bangunan menyerupai makam yang bercungkup dan berpagar kayu. Identitas makam yang bernisankan balok batu bekas reruntuhan candi tersebut statusnya hingga kini masih tanda tanya. Di area makam ini terkumpul beberapa bata kuno (bata merah), dan balok batu (batu kapur) bekas reruntuhan candi. Beberapa fragmen hiasan candi berbahan terakota (tanah liat), salah satunya ada yang ber-relief Kalpataru, juga ikut dikumpulkan disana.
Candi Slumpang yang Tenggelam |
Hiasan Candi Berbahan Terakota |
Keberadaan candi Slumpang diduga kuat ada kaitannya dengan Naditira Pradesa, deretan desa (Pradesa) di sepanjang tepian bengawan (Naditira) yang mendapat anugerah status istimewa (sima/perdikan) berkat jasanya dalam penyeberangan sungai (penambangan). Prasasti Canggu atau Ferry Charter 1280 Çaka/1358 M (07 Juli 1358) yang dikeluarkan oleh Raja Hayam Wuruk/Çrĩ Rãjasanagara (raja Majapahit ke-4), menyebut puluhan desa di pinggir aliran dua sungai besar (Bengawan Solo dan Sungai Brantas) beserta anak-anak sungainya yang ditetapkan sebagai desa perdikan (sima). Muhammad Yamin dalam bukunya Tatanegara Majapahit - Parwa II, menyebut Pasiwuran sebagai salah satu desa yang berstatus Naditira Pradesa.
Pasiwuran yang disebut di dalam prasasti Canggu diduga kuat sekarang menjadi Desa Siwuran - Maduran yang terletak di tepian sisi Selatan Bengawan Solo. Urutan nama desa berdasarkan isi prasasti juga menyebut, bahwa setelah i pasiwuran adalah i kĕḍal. Nama kĕḍal diduga kuat sekarang adalah Desa Kendal. Desa Kendal sendiri jaraknya tidak jauh dari Desa Siwuran (pasiwuran), tepatnya berada di sebelah Baratnya. Dan, lokasinya pun juga sama dengan Desa Siwuran, yakni berada di tepi sisi Selatan Bengawan Solo. Meskipun ada perubahan nama dari Pasiwuran menjadi Siwuran, tetapi secara toponimi perubahan ini masih bisa diterima. Di area persawahan desa Siwuran juga di temukan sebuah yoni berbahan andesit yang posisinya hingga saat ini masih terkubur di dalam tanah. Bukan hanya itu, disekitar temuan yoni juga didapati pecahan bata dan keramik kuno.
Demikian isi prasasti Canggu/Ferry Charter 1280 Çaka/1358 M [sumber: Muhammad Yamin, Tatanegara Majapahit - Parwa II, hlm. 99] :
"...muwaḥ prakãraning naditira pradeça sthananing anãmbangi i maḍantĕn . i waringin wok . i bajrapura . i sambo (Desa Sambopinggir) . i jerebeng . i pabulangan . i balawi (Desa Blawi) . i luwayu . i katapang (Desa Ketapangtelu) . i pagaran (Desa Jagran) . i kamudi (Desa Kemudi/Desa Kepudibener) . i parijik (Desa Prijek) . i parung (Desa Parengan) . i pasiwuran (Desa Siwuran) . i kĕḍal (Desa Kendal) . i bhangkal (Desa Kebalan Besur) . i wiḍang..."
Pasiwuran yang disebut di dalam prasasti Canggu diduga kuat sekarang menjadi Desa Siwuran - Maduran yang terletak di tepian sisi Selatan Bengawan Solo. Urutan nama desa berdasarkan isi prasasti juga menyebut, bahwa setelah i pasiwuran adalah i kĕḍal. Nama kĕḍal diduga kuat sekarang adalah Desa Kendal. Desa Kendal sendiri jaraknya tidak jauh dari Desa Siwuran (pasiwuran), tepatnya berada di sebelah Baratnya. Dan, lokasinya pun juga sama dengan Desa Siwuran, yakni berada di tepi sisi Selatan Bengawan Solo. Meskipun ada perubahan nama dari Pasiwuran menjadi Siwuran, tetapi secara toponimi perubahan ini masih bisa diterima. Di area persawahan desa Siwuran juga di temukan sebuah yoni berbahan andesit yang posisinya hingga saat ini masih terkubur di dalam tanah. Bukan hanya itu, disekitar temuan yoni juga didapati pecahan bata dan keramik kuno.
Nampak Yoni Berbahan Andesit dan Cungkup Makam |
Dengan statusnya sebagai Naditira Pradesa, Pasiwuran (Siwuran) pada masa itu pastinya sudah mempunyai bandar (pelabuhan sungai) yang menjadi penghubung sosial-budaya dan ekonomi. Tentu saja yang diseberangkan pada saat itu bukan hanya manusia, tetapi juga komoditas pertanian maupun perdagangan lainnya. Dan, karena Bengawan Solo pada waktu itu juga dilalui kapal-kapal dagang besar, bukan tidak mungkin jika pada saat itu sudah terjalin suatu hubungan dagang, baik antar wilayah, antar pulau, maupun antar negara. Jadi, bisa dibilang Pasiwuran (Siwuran) pada masa kejayaannya itu telah menjadi sentra perekonomian, lantaran merupakan tempat yang cukup ramai. Karena itu, Pasiwuran (Siwuran) dulunya pasti merupakan sebuah perkampungan yang padat penduduknya, baik yang ada di sisi Selatan maupun di sisi Utara Bengawan Solo (letak candi Slumpang).
Bata Kuno dan Balok Batu |
Sebagai desa yang berstatus Naditira Pradesa, maka tidak heran jika di dekat bandar/pelabuhan sungainya terdapat sebuah bangunan candi (candi Slumpang). Jejak bekas pemukiman juga ditemukan tidak jauh dari lokasi candi. Kurang lebih 300 meter dari arah Timur candi terdapat makam desa yang disekitarnya banyak ditemukan pecahan keramik dan tembikar. Lokasi makam ini diduga kuat dulunya merupakan sebuah perkampungan. Jadi, bisa digambarkan posisi candi Slumpang pada masa itu diduga berada di luar perkampungan. Candi Slumpang adalah candi yang bercorak Hindu (Syiwa) karena di candi ini ditemukan yoni. Candi Slumpang diduga berfungsi sebagai tempat peribadatan karena letaknya tidak jauh dari perkampungan. Selain itu, candi ini juga diduga digunakan sebagai simbol kesuburan (fertility) terkait produksi padi yang melimpah, jika melihat letak candi Slumpang yang hingga saat ini masih berada di tengah area persawahan yang subur dan luas.
Dua Yoni yang Atas Berbahan Andesit dan yang Bawah Berbahan Batu Kapur |
Sebagai informasi tambahan, Kabupaten Lamongan termasuk daerah yang minim sekali ditemukan candi. Candi Slumpang adalah satu dari sedikit candi yang ditemukan di kota Prasasti ini. Hal ini berbanding terbalik dengan penemuan keramik impor dan tembikar yang sangat banyak dijumpai dihampir seluruh situs yang berada di wilayah Lamongan. Fenomena ini diduga kuat ada kaitannya dengan wilayah strategis Lamongan sebagai daerah yang dilintasi Bengawan Solo yang mana bisa langsung terhubung ke lautan lepas.
Area Persawahan yang Subur dan Luas |
Di wilayah Lamongan, sejak masa Airlangga (Medang Kahuripan) tercatat telah terjalin hubungan perdagangan antar negara (Perdagangan Internasional), hal ini dibuktikan dari isi Prasasti Patakan. Prasasti peninggalan raja Airlangga yang lokasi awalnya berada di Desa Pata'an, Kecamatan Sambeng - Lamongan ini menyebut tentang daftar orang-orang asing, dan para profesional yang dikenai pajak. Orang-orang tersebut masuk dalam kategori 'wargga kilalan'. 'Wargga' artinya warga, sedangkan 'kilalan' berasal dari bahasa Jawa kuna 'Kilala' yang artinya diambil miliknya. Jadi, wargga kilalan berarti warga yang diambil miliknya. Selain Prasasti Patakan, prasasti peninggalan raja Airlangga lainnya yang menyebut wargga kilalan adalah Prasasti Cane 943 Çaka/1021M. Lokasi awal prasasti Cane berada di Dusun Cane, Desa Candisari, Kecamatan Sambeng - Lamongan. Sama seperti Patakan, toponim Cane juga hanya terdapat di Lamongan. Adanya penyebutan bangsa asing di dalam Prasasti Patakan dan Cane, menunjukkan bahwa di wilayah Lamongan sejak masa Airlangga telah terjalin hubungan antar negara/hubungan luar negeri (Hubungan Internasional). Dengan adanya hubungan antar negara itu, otomatis didalamnya juga terjalin hubungan perdagangan antar negara. Hal ini diduga berlanjut hingga era Majapahit.
Bapak M. Dwi Cahyono Sedang Memotret |
Sebagai wilayah yang lokasinya sangat strategis, apalagi dengan ditunjang sarana dan prasarana yang memadai, seperti pelabuhan laut dan sungai, hal ini mengakibatkan terjadinya peningkatan perdagangan dalam dan luar negeri yang signifikan, dan akhirnya berdampak pada semakin meningkatnya kemakmuran masyarakat. Di Lamongan, pada masa itu diduga muncul tren, bahwa kekayaan yang didapat dari surplus beras dan hasil-hasil pertanian lainnya tidak lagi diwujudkan dalam bentuk bangunan-bangunan monumental yang megah seperti candi. Akan tetapi, kekayaan itu diwujudkan dalam bentuk kepemilikan barang-barang mewah impor. Barang-barang mewah tersebut antara lain seperti keramik impor dan tembikar, sebagai penanda status sosial mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar