Gunung Pawitra, nama arkais/kuno dari gunung Penanggungan, merupakan kawasan pegunungan yang terdiri dari puncak Utama (1.653 mdpl) yang dikelilingi oleh delapan puncak Perwara/Pengawal, yakni: Bukit Bekel (1.240 mdpl); Bukit Sarahklopo (1.235 mdpl); Bukit Kemuncup (1.238 mdpl); Bukit Gajah Mungkur (1.084 mdpl); Bukit Jambe (747 mdpl); Bukit Semodo (719 mdpl); Bukit Bende (927 mdpl); dan Bukit Wangi (987 mdpl).
Peserta Jelajah Situs Pawitra Foto Bersama di Puncak Bukit Bekel |
Peserta Jelajah Situs Pawitra Foto Bersama di Candi Lemari |
Willem Frederik Stutterheim, seorang ilmuwan dan ahli purbakala Belanda, secara cermat menangkap kesamaan bentuk gugusan gunung antara gunung Pawitra/Penanggungan dengan gunung Meru (Himalaya), yakni sebuah puncak utama yang dikelilingi oleh delapan puncak yang lebih rendah. Sehingga, dengan cermat berteori bahwasanya gunung Penanggungan (Pawitra) adalah replika dari gunung Meru (Himalaya). Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa gunung Penanggungan adalah sebuah gunung Suci.
Patirthan Jolotundo. Pendakian gunung Pawitra/Penanggungan via Jolotundo |
Karena gunung Penanggungan merupakan replika dari gunung Meru, yang dalam kosmologi Hindu maupun Buddha dianggap sebagai gunung suci, maka dapat dipahami bila gunung Penanggungan pada zaman dahulu begitu disucikan. Perlu untuk diketahui bahwa Mahameru merupakan gunung suci, pusat alam semesta sekaligus poros penghubung antara mikrokosmos (buana alit) dengan makrokosmos (buana ageng). Puncak Mahameru diyakini sebagai tempat persemayaman sang Jagatnatha (pengatur jagat). Pada delapan penjuru arah mata anginnya, tinggal dewa-dewa tertentu yang menjaganya. Pensucian gunung Penanggungan dibuktikan dengan adanya lebih dari seratus bangunan suci berupa percandian, goa pertapaan, dan patirthan, yang tersebar pada lereng bawah hingga menjelang puncaknya.
Candi Lemari |
Candi Merak |
Sebagai gunung yang dianggap suci, maka tidak heran jika sebagian besar bangunan percandian di gunung Penanggungan dibangun membelakangi puncaknya, sehingga kaum Rsi yang sedang beribadah akan bisa langsung menghadap ke arah puncak gunung yang diyakini sebagai tempat persemayaman para Dewa. Pensucian gunung Penanggungan juga terberitakan di dalam sumber data tekstual (prasasti dan susastra), yang membuktikan bahwa gunung Penanggungan telah dianggap sebagai gunung suci semenjak abad X hingga XVI Masehi.
Situs Meja Altar Dengan Tangga Makara Gajah atau Candi Gajah |
Berdasarkan sumber data tekstual, nama Pawitra/Penanggungan telah disebut dalam Prasasti Cunggrang bertarikh 851 Çaka/929 Masehi yang dikeluarkan oleh mPu Sindok. Penyebutan nama Pawitra termuat di dalam prasasti pada baris ke-7:
"..kna ri sang hyang dharmmasrama ing Pawitra muang i sang hyang prasada silunglung sang siddha dewata.."
"..kna ri sang hyang dharmmasrama ing Pawitra muang i sang hyang prasada silunglung sang siddha dewata.."
"..memelihara dharmmasrama (asrama yang mengajarkan kebaikan/pertapaan) suci di Pawitra dan prasada (menara kuil) suci silunglung dari siddha dewata.."
Dan, pada baris ke-9:
"..nguniweh sang hyang muang umahayua sang hyang tirtha pancuran ing Pawitra.."
"..nguniweh sang hyang muang umahayua sang hyang tirtha pancuran ing Pawitra.."
"..bekerja untuk (dharmmasrama dan prasada) suci dan merawat pancuran air suci di Pawitra..".
Prasasti Cunggrang |
Candi Wayang |
Perlu untuk diketahui bahwa, pada masa klasik terdapat 3 agama, yaitu: Kasaiwan (Syiwa/Hindu), Kasogatan (Buddha), dan Karesian (Kedewaguruan). Dan, percandian di gunung Penanggungan digunakan sebagai tempat ibadah agama Karesian/kaum Rsi. Berdasarkan sumber data tekstual, Darmma (tempat Suci Keagamaan) kaum Rsi di lereng Gunung Penanggungan pernah dikunjungi oleh raja Hayam Wuruk. Kunjungan Raja Hayam Wuruk (Majapahit) tersebut terberitakan dalam Kakawin Nãgarakṛtãgama atau Deçawarṇana karya mPu Prapanca.
Demikian isi Kakawin Nãgarakṛtãgama/Deçawarṇana pupuh 58 bait 1:
"...warnnan i sahnira riɳ jajawa riɳ padameyan ikaɳ dinunuɳ, mande cungran apet kalanön / numahas iɳ wanadeçalnöɳ, darmma karsyan i parçwanin acala pawitra tikaɳ pinaran, ramya nikan panunaɳ luralurah inikhötnira bhasa khiduɳ..."
"...warnnan i sahnira riɳ jajawa riɳ padameyan ikaɳ dinunuɳ, mande cungran apet kalanön / numahas iɳ wanadeçalnöɳ, darmma karsyan i parçwanin acala pawitra tikaɳ pinaran, ramya nikan panunaɳ luralurah inikhötnira bhasa khiduɳ..."
"...diuraikan lagi seperginya beliau (Hayam Wuruk) dari Jajawa (candi Jawi) ke (desa) Padameyan berhenti di (desa) Cungrang mendapat keindahan masuk hutan rindang mengaguminya, darmma (tempat suci keagamaan) kaum Rsi di lereng gunung Pawitra/Penanggungan dikunjungi, tempat yang menawan memandang ke bawah jurang lembah dilengkapi dengan senandung kidung..."
Karena digunakan sebagai tempat ibadah agama Karesian (kaum Rsi), maka tidak heran jika sebagian besar bangunan percandian yang ditemukan di gunung Penanggungan berbentuk punden berundak, yang mana bentuk bangunan ini merupakan bentuk bangunan budaya megalitikum asli lokal dengan puncaknya berupa altar dan kemuncak, bukan puncak Stupa - Buddha, maupun puncak Ratna - Hindu. Selain itu, kepurbakalaan di kawasan Situs Gunung Penanggungan kebanyakan berupa bangunan berundak mungkin karena disesuaikan dengan kondisi kemiringan tanah lereng gunung.
Ukiran relief pada percandian gunung Penanggungan juga didominasi oleh cerita Panji, sebuah genre susastra asli lokal yang lepas dari cerita epos Mahabarata maupun Ramayana. Relief cerita Panji ini dilihat dari bentuk penutup kepala tokoh-tokohnya yang khas --disebut tekes-- dan jalinan rambut yang disebut supit urang. Cerita Panji memiliki tema tentang hilangnya seorang puteri raja. Puteri itu kemudian ditemukan kembali oleh seorang pangeran, setelah sang pangeran berhasil mengalahkan musuh-musuh dari ayah sang puteri. Cerita Panji yang romantis ini sangat populer dan sering digunakan dalam berbagai pertunjukan wayang. Relief cerita Arjunawiwaha, Bimasuci, dan Panji, dianggap sebagai bukti pendukung teori adanya gerakan millenarisme di Gunung Penanggungan.
Ukiran relief pada percandian gunung Penanggungan juga didominasi oleh cerita Panji, sebuah genre susastra asli lokal yang lepas dari cerita epos Mahabarata maupun Ramayana. Relief cerita Panji ini dilihat dari bentuk penutup kepala tokoh-tokohnya yang khas --disebut tekes-- dan jalinan rambut yang disebut supit urang. Cerita Panji memiliki tema tentang hilangnya seorang puteri raja. Puteri itu kemudian ditemukan kembali oleh seorang pangeran, setelah sang pangeran berhasil mengalahkan musuh-musuh dari ayah sang puteri. Cerita Panji yang romantis ini sangat populer dan sering digunakan dalam berbagai pertunjukan wayang. Relief cerita Arjunawiwaha, Bimasuci, dan Panji, dianggap sebagai bukti pendukung teori adanya gerakan millenarisme di Gunung Penanggungan.
Candi Yudha |
Candi Pendawa |
Bangunan candi di kawasan Situs Gunung Penanggungan kebanyakan berangka tahun atau dibangun pada masa akhir kerajaan Majapahit (periode abad ke 15 sampai 16 Masehi). Hal ini terjadi mungkin karena pihak kerajaan Majapahit ingin lebih memperhatikan kepercayaan lokal agar lebih berkembang dengan banyak membangun Prasada, Asrama, dan lain sebagainya, serta melokalisasikannya di komplek gunung Penanggungan. Selain itu, pada masa itu diduga terjadi fenomena millenarisme -- tentang aksi pengunduran diri dengan keyakinan akan datangnya Ratu Adil yang dapat membawa kembali pada masa lampau penuh bahagia. Ketika Islam mulai masuk ke tanah Jawa, masyarakat penganut Hindu-Buddha mulai terdesak. Dan, mereka akhirnya banyak yang mengundurkan diri, kemudian pergi ke gunung-gunung. Di gunung, mereka mendirikan bangunan-bangunan pemujaan, melakukan ibadah (menyatukan raga dan sukma dengan para Dewa), dan berharap hadirnya Ratu Adil yang akan mengembalikan masa-masa keemasan Majapahit.
Pahatan Angka Tahun 1326 Çaka/1404 M di Situs Goa Buyung. Era Majapahit Masa Pemerintahan Bhatara-Stri Rãjasawarddhanĩ/Kusumawarddhanĩ, raja Majapahit ke-6
|
Candi Putri |
Mitologi Gunung Penanggungan sebagai Mahameru Suci tertulis dalam kitab Tantu Panggelaran (1557 Çaka/1635 M). Dikisahkan, pulau Jawa saat itu masih dalam keadaan labil, tanahnya sering berguncang dan bergetar. Bhatara Guru kemudian memerintahkan semua Dewa dan makhluk Kahyangan agar pergi ke Jambudwipa (India) untuk memindahkan gunung suci Mahameru ke pulau Jawadwipa (Jawa), lalu memaku tanah Jawa agar menjadi stabil dan berhenti bergoyang. Puncak Mahameru yang setinggi langit itu kemudian dipotong dan diangkut beramai-ramai ke pulau Jawa.
Dalam proses pemindahannya, banyak bagian dari potongan gunung Mahameru yang jatuh tercecer menjadi Gunung Lawu, Wilis, Kelud, Kawi, Arjuno dan Welirang. Bagian yang tersisa kemudian menjadi Gunung Semeru. Sedangkan, bagian puncaknya yang tertinggi, melepas dan berdiri sendiri, kemudian diberi nama Pawitra yang berarti suci atau keramat. Pawitra inilah yang sekarang dikenal sebagai Gunung Penanggungan.
Dalam proses pemindahannya, banyak bagian dari potongan gunung Mahameru yang jatuh tercecer menjadi Gunung Lawu, Wilis, Kelud, Kawi, Arjuno dan Welirang. Bagian yang tersisa kemudian menjadi Gunung Semeru. Sedangkan, bagian puncaknya yang tertinggi, melepas dan berdiri sendiri, kemudian diberi nama Pawitra yang berarti suci atau keramat. Pawitra inilah yang sekarang dikenal sebagai Gunung Penanggungan.
Panorama Alam di Puncak Bekel |
Situs Gentong dan Meja Altar |
Suasana Selama Pendakian, Walaupun Lelah yang Penting Tetap Semangat |
Demikian isi kitab Tantu Panggelaran (1557 Çaka/1635 M) yang menceritakan pemindahan gunung Mahameru oleh para Dewa dari Jambudwipa (India) ke pulau Jawadwipa (Jawa) hingga terciptanya gunung Pawitra (Penanggungan), isi kitabnya sebagai berikut:
Dilepas turun dari Barat menuju Timur di pulau Jawa, kemudian dilepaslah Sang Hyang Mahameru dipindah ke Timur dasarnya tertinggal ada di Barat. Oleh sebab itu nantinya ada tercipta gunung yang bernama Kelasa. Berdirinya Sang Hyang Mahameru beginilah bunyi ceritanya: Puncaknya dipindah ke Timur, dikelilingi oleh semua para Dewa sampai runtuh Sang Hyang Mahameru. Setelah di tanah runtuh terciptalah gunung Katong (Lawu), kedua di tanah runtuh terciptalah gunung Wilis, ketiga di tanah runtuh terciptalah gunung Kampud (Kelud), keempat di tanah runtuh terciptalah gunung Kawi, kelima di tanah runtuh terciptalah gunung Arjuno, keenam di tanah runtuh terciptalah gunung Kemukus (Welirang).
Rusaklah di bagian bawah setelah runtuhnya Sang Hyang Mahameru, kemudian lebih ke arah Utara berdiri tegak bagian potongan puncaknya, kemudian disana berdiri tempat para Dewa, puncak Sang Hyang Mahameru dipindah ke Pawitra maksud dari semua para Dewa, kemudian nanti disebut Pawitra puncak Sang Hyang Mahameru seperti bunyi ceritanya tadi.
Puncak Bukit Bekel Terlihat dari Halaman Depan Candi Pendawa |
Untuk informasi tambahan, jalur pendakian Gunung Pawitra/Penanggungan bisa dilalui: Via Tamiajeng; Via Jolotundo; Via Jedong (Ngoro); Via Kunjorowesi; Via Kedungudi; dan Via Wonosunyo (Belahan).
Rahayu.. Rahayu.. Rahayu..
Mantab mas.. Semoga tetap lestari
BalasHapusAamiin.. Terima kasih..
Hapus